KBR, Jakarta- Koalisi LSM di Aceh yang bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia mulai mendata anggota TNI yang diyakini terlibat peristiwa pembunuhan dan penganiayaan warga sipil di Simpang Kertas Kraft Aceh atau Simpang KKA. Koordinator Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhammad mengatakan pendataan dan pelacakan dilakukan terhadap para anggota TNI baik eksekutor di lapangan maupun komandan di masing-masing kesatuan yang terkait dengan peristiwa Simpang KKA tahun 1999.
Pelacakan itu untuk membantu mengawal hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan menemukan indikasi awal pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Simpang KKA.
"Lagi melakukan track karier. Terakhir bertugas dimana, dipindahkan ke mana. Sampai posisi hari ini. Juga kondisi kesehatan, status jabatan, pensiun atau sudah meninggal, atau sedang sakit dan sebagainya. Kita baru punya nama sekitar 15 orang, sementara keterangan saksi mata dalam kasus Simpang KKA itu jumlah prajurit TNI mencapai 25 orang," kata Zulfikar Muhammad kepada KBR, Kamis (23/6/2016).
Nama-nama yang dilacak oleh Koalisi NGO HAM Aceh mulai dari prajurit TNI di tempat kejadian perkara saat peristiwa pembunuhan Simpang KKA 3 Mei 1999, hingga para petinggi TNI seperti Komandan Koramil, Komandan Korem hingga Panglima Kodam.
"Kita akan kawal, karena ini Komnas HAM-nya sudah di jalur yang bagus, on the track. Dan ini juga jalan bagus untuk menuju perbaikan dan reformasi di tubuh TNI," kata Zulfikar.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan hasil penyelidikan kasus Simpang KKA menyebutkan menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM mencatat ada aksi pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan aparat Detasemen Arhanud Rudal dan Yonif 113 kepada warga sipil.
Komnas HAM menduga kasus itu melibatkan TNI, Pangdam Bukit Barisan tahun 1999, Komandan Korem Liliwangsa, Komandan Kodim Aceh Utara, Komandan Batalyon Infanteri, Komandan Detasemen Arhanud Rudal hingga Komandan Koramil dan anggota di kesatuan-kesatuan itu.
Namun Komnas HAM belum bisa mengetahui motif peristiwa itu. Karena sejumlah nama anggota TNI yang dipanggil untuk pemeriksaan menolak hadir. Sedangkan Komnas HAM tidak punya kewenangan memanggil paksa.
Tragedi Simpang KKA, yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara
atau Tragedi Krueng Geukueh ini sudah berusia lebih dari 16 tahun.
Peristiwa ini berlangsung saat konflik Aceh pada 3 Mei 1999 di Kecamatan
Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki
kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan
warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.
Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. Hingga kini, belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili.
Zulfikar mengapresiasi keputusan yang diambil Komnas HAM terkait kasus Simpang KKA. Ia mengatakan yang penting saat ini adalah bagaimana para korban pelanggaran HAM Aceh mendapat pemulihan.
"Apakah pelaku nanti akan dihukum seumur hidup, digantung, nggak penting bagi kita. Yang penting, ini terungkap dan masuk di pengadilan. Ada yang bertanggung jawab. Cukup itu. Lebih penting, apa yang dilakukan negara pada korban? Jadi dengan begitu, kita bisa mengukur kemajuan perdamaian di Aceh ini," lanjut Zulfikar.
Koalisi NGO HAM didirikan pada 7 Agustus 1998 beranggotakan 29 LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat sipil, advokasi HAM dan hak-hak sipil.
Editor: Rony Sitanggang