KBR, Jakarta- Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Ibnu Basuki memvonis bekas bendahara umum DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dengan hukuman enam tahun penjara, dan denda 1 miliar rupiah. Nazarudin terbukti bersalah melakukan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum JPU KPK yang menuntutnya tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut agar harta Nazaruddin dengan nilai sekitar Rp 600 miliar dalam kasus pencucian uang dikembalikan ke negara.
"Mengadili menyatakan terdakwa Muhammad Nazarudin secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Sebagaimana diatur dalam dakwaan kesatu primer sampai ketiga, menjatuhkan pidana selama enam tahun dan denda 1 miliar rupiah, jika tidak dibayar diganti kurungan selama satu tahun," kata Ibnu dalam sidang putusan di PN Jakarta Pusat, Rabu (16/6/2016)
Majelis hakim, dalam sidangnya mengatakan ada beberapa hal yang memberatkan vonis Nazar. Salah satunya uang yang di korupsi Nazzarudin terbilang banyak.
"Sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan, akan menyebutkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan yaitu, terdakwa tidak mendukung tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, dan hasil uang yang dikoruspi cukup banyak. Hal-hal yang meringankan, terdakwa sopan, telah dijatuhkan pidana sebelumnya, mengakui kesalahannya, dan terdakwa adalah justice kolaborator," ujar Ibnu Masuki.
Vonis Nazzarudin merupakan putusan kedua yang diterima. Nazaruddin sebelumnya sempat divonis dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Dalam putusan wisma atlet, Nazarudin divonis empat tahun 10 bulan penjara. Vonis itu bertambah setelah adanya putusan Mahkamah Agung yang memperberat hukuman Nazar menjadi 7 tahun penjara dan denda 300 juta rupiah.
Kasus Gratifikasi dan Pencucian Uang
Dalam dakwaan pertama di persidangan, Nazaruddin dinilai terbukti menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya Rp23,119 miliar dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan Rp17,250 miliar dari PT Nindya Karya.
Penerimaan tersebut karena sudah ada kesepakatan Nazar dengan PT DGI untuk mendapatkan fee sebesar 21-22 persen dari nilai kontrak sehingga Nazaruddin bersedia untuk memperlancar proyek sejak proses penganggaran dan pelelangan dengan cara memberikan fee kepada satuan kerja dan panitia pengadaan sehingga PT DGI dan PT Nindya Karya.
Pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp627,86 miliar selama periode 2010-2014 yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan Nazaruddin sebagai anggota DPR.
Nazaruddin juga melakukan perbuatan membuka rekening perusahaan-perusahaan di bawah Permai Grup sebanyak 42 rekening, pembelian tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan saham antara lain pembelian saham PT Garuda Indonesia (persero) Tbk senilai total 298.036.000 lembar berjumlah Rp 163,918 miliar, saham PT Bank Mandiri senilai total 7.651.500 lembar berjumlah Rp 40,14 miliar, saham Krakatau Steel, saham PT Bank Negara Indonesia, serta sukuk yang ditotal sekitar Rp300 miliar.
Editor: Dimas Rizky