KBR, Jakarta- Pelaku industri pengolahan ikan meminta pemerintah tidak membatasi impor ikan. Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya beralasan, industri pengolahan di hilir masih kekurangan bahan baku.
Kata dia, pelaku usaha menargetkan kapasitas terpakai tahun ini bisa mencapai lebih dari 50 persen dari kapasitas terpasang. Sementara, kapasitas yang terpakai saat ini masih berada di bawah 20 persen.
"Kita harap pemerintah bijak, dalam arti bukan dibuka seluas-luasnya, yang penting pengendalian itu diimpor untuk diolah kemudian menghasilkan devisa atau memperkuat ekonomi dalam negeri. Targetnya volumenya harus memenuhi 50 persen. Contohnya untuk tuna, kita 1 tahun 365 ribu maka kita harus di atas 150 ribu ton 1 tahun untuk tuna spesies cakalang. Untuk sarden, kalau kita mau di atas 50 persen, maka harus di atas 110 ribu ton," kata Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya dalam acara Dialog tentang Importasi Ikan di Jakarta, Kamis (23/6/2016)
Ady Surya menyebut, persediaan ikan di dalam negeri sebenarnya cukup melimpah, tetapi mayoritas berada di luar Jawa. Itu sebab, ikan-ikan tersebut tidak mampu diserap oleh sektor industri.
"Bagaimana membawa ikan itu ke meja industri, dengan kualitas volume yang dipersyaratkan untuk industri. Beberapa kebijakan kita secara rilil tidak bisa membawa ikan itu sampai ke industri dalam volume yang kita butuhkan," ujar dia.
Ady mengontraskan dengan kondisi Thailand yang menguasai separuh lebih pasar ikan kaleng dunia. Padahal, mayoritas bahan baku ikan di Thailand merupakan hasil impor.
"Thailand untuk industri tuna, 90 persen lebih dia impor, tapi dia bisa menjadi raja ikan kaleng dunia, 50 persen lebih pasar dunia ikan kaleng dikuasai oleh Thailand. Kita hanya kontribusi 7-11 persen fluktuatif, padahal kita punya ikan," jelasnya.
Keluhan minimnya pasokan bahan baku juga diungkapkan oleh pelaku usaha pindang ikan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pindang Ikan Indonesia (Appikando) Tony Marta Johan mengatakan, impor ikan dinilai menjadi solusi sementara pada musim paceklik ikan. Kata dia, ketersediaan bahan baku ikan akan menjaga kelangsungan usaha pengrajin ikan dan menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
"Kebijakan impor ini telah menyelamatkan pengrajin pindang/pengepul, pekerja pemindang, pedagang eceran, pengrajin besek, yang tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur serta luar Jawa," ujar Tony.
Selain itu, pemerintah juga diminta menekan biaya distribusi dan logistik. Ketua Harian Apiki Ady Surya mengatakan, problem lamanya waktu bongkar muat (dwelling time) juga harus dipecahkan.
"Dwelling time itu harus benar-benar kongkrit, bukan hanya di pelabuhan umum, juga di pelabuhan perikanan itu berlaku," tutur Ady.
Pemerintah, lanjut Ady, semestinya menaruh perhatian lebih pada sektor pengolahan ikan, lantaran sektor perikanan dan pariwisata berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Presiden sudah mengingatkan bahwa 2 sektor yang mampu secara riil sekarang membantu lesunya ekonomi nasional yang tumbuh 4,9 persen itu, hanya pariwisata dan perikanan," kata dia.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, kebijakan impor bisa diambil sebagai upaya pemerintah menjamin ketersediaan sumber daya alam bagi industri. Namun, ia menekankan impor merupakan pilihan terakhir.
"Menjamin itu bisa membatasi ekspor, bisa juga mengimpor. pemerintah boleh menetapkan impor, apabila di dalam negeri tidak mencukupi," ujar Abdul Rochim.
Sementara, Plt. Sesditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sadullah Muhdi juga menyatakan impor ikan tidak dilarang. Namun, pelaku usaha dan pemerintah perlu duduk bersama untuk membahas permasalahan di lapangan, salah satunya terkait perbedaan data.
"Kita duduk bareng saja, seberapa sih proyek ekspor kita, kemampuan bahan baku kita. Tidak ada nuansa pembatasan, tidak ada istilah kuota. Tapi masalah data ini menjadi kesulitan kita," kata Sadullah.
Editor: Rony Sitanggang