Bagikan:

Ini Transkip Lengkap Pembelaan Wiranto Disebut Perintahkan Prabowo Menculik

KBR, Jakarta - Bekas Panglima ABRI Wiranto angkat suara soal tuduhan dirinya mendalangi penculikan aktivis di era 1998. Ketua Umum Hanura itu bahkan disebut memberikan perintah kepada Prabowo Subianto untuk menculik aktivis.

NASIONAL

Kamis, 19 Jun 2014 19:55 WIB

Author

Yudi Rachman

Ini Transkip Lengkap Pembelaan Wiranto Disebut Perintahkan Prabowo Menculik

prabowo, jokowi, HAM, wiranto

KBR, Jakarta - Bekas Panglima ABRI Wiranto angkat suara soal tuduhan dirinya mendalangi penculikan aktivis di era 1998. Ketua Umum Hanura itu bahkan disebut memberikan perintah kepada Prabowo Subianto untuk menculik aktivis.

Saat itu Prabowo sebagai Pangkostrad. Wiranto juga menjawab pertanyaan adanya persaingan antara dirinya dengan Prabowo. Bahkan Wiranto disebut ikut bertanggungjawab dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti.

Berikut Pernyataan lengkap Wiranto:

Dalam debat Calon Presiden, Pak Prabowo menyatakan yang dilakukan sekitar 1998 merupakan bagian dari tugasnya untuk membela negara, selebihnya tanyakan saja kepada atasan saya. Sebagai Panglima ABRI saat itu, Bapak kan atasannya. Terus terang masyarakat menunggu penjelasan Bapak?

Pada saat aksi penculikan dilakukan medio Desember 1998 sampai Pebruari 1998 Panglima ABRI adalah Jenderal (alm) Feisal Tanjung. Sedangkan saat kasus tersebut terungkap sekitar bulan Maret 1998, saya telah menggantikan posisi beliau.

Perlu diketahui bahwa kebijakan Panglima saat itu untuk menghadapi para aktivis dan demonstran mengedepankan cara-cara persuasif, dialogis, dan komunikatif, serta menghindari tindakan yang bersifat kekerasan atau represif. Maka aksi penculikan tersebut jelas tidak sesuai dengan kebijakan pimpinan.

Saya tidak tahu yang dimaksud atasan oleh yang bersangkutan itu siapa, dan yang pasti bukan saya ataupun Jenderal Feisal Tanjung yang benar-benar tidak pernah memberi perintah atau merestui langkah-langkah kekerasan atau penculikan pada saat menghadapi masyarakat.
Seingat saya pada saat menanyakan langsung kepada Letjen Prabowo saat itu tentang siapa yang memberi perintah, yang bersangkutan mengaku bahwa apa yang dilakukan bukan perintah Panglima, namun merupakan inisiatifnya sendiri dari hasil analisa keadaan saat itu (periksa Koran Kompas 9 Agustus 1998).

Sampai saat ini masih ada pemberitaan bahwa Bapak selaku Panglima ABRI merangkap Menteri Hankam terlibat dan ikut bertanggungjawab terhadap kasus Trisakti, kerusuhan Mei dan penculikan di tahun 1998, bagaimana tanggapan Bapak?

Saya ingin menjernihkan permasalahan tersebut. Dalam satu kasus seperti penembakan, kerusuhan dan penculikan memang ada pihak-pihak yang terlibat dan bertanggung jawab. Satu pihak berperan sebagai yang mendalangi penembakan, kerusuhan atau penculikan, sedangkan pihak lainnya adalah yang tidak membiarkan aksi itu dengan mencegah, mengusut, dan menghukum pelakunya.

Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat, bukan sebagai dalang, namun sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran. Kalau saya mendalangi penembakan, kerusuhan, dan penculikan, pasti negeri ini sudah hancur-hancuran. Tingkat kerusakan tak lagi bisa kita bayangkan, kerusuhan pasti akan berlarut-larut seperti yang baru saja kita saksikan di Thailand, Mesir, Syria. Kalau penembakan dilakukan atas perintah Panglima maka korbannya bisa mencapai ratusan.

Pada kenyataannya penembakan di Trisakti telah saya usut dan menghukum para pelakunya. Kerusuhan dalam skala nasional dapat saya netralisir hanya dalam waktu 2 (dua) hari. Tanggal 13 Mei 1998 setelah acara penguburan korban penembakan, kerusuhan di mulai. Pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan memuncak dan tanggal 15 Mei 1998 pagi keadaan sudah dapat dikuasai oleh aparat keamanan, setelah saya mendatangkan pasukan Marinir dan Kostrad dari Jatim ke Jakarta. Untuk kasus penculikan, sudah jelas yang saya lakukan adalah mencegah dengan kebijakan persuasif, dialogis, dan komunikatif, selanjutnya setelah terjadi penembakan melakukan pengusutan dan menghukum para pelaku penculikan.

Apa yang saya lakukan di atas adalah bentuk tanggung jawab saya selaku Panglima. Bahkan, peluang yang sangat terbuka untuk kudeta pada saat negeri ini dalam keadaan kritispun tidak saya lakukan, karena tanggung jawab saya sebagai bayangkari negara yang harus tetap menegakkan demokrasi dengan segala resikonya. Tidak adil dan tidak pada tempatnya kalau Panglima dibebani tanggung jawab sebagai dalang penembakan, kerusuhan, dan penculikan.

Ada pula pemberitaan yag menyatakankerusuhan Mei adalah bagian dari persaingan antara Prabowo dan Wiranto! Apa pendapat Bapak?

Berkali-kali saya katakan bahwa persaingan dalam kehidupan militer, biasanya dua atau lebih personil militer dalam satu level kepangkatan tertentu, untuk berprestasi atau memperebutkan anjabatan satu tingkat di atasnya. Pada saat itu di tahun 90-an, ditinjau dari angkatan, saya angkatan 68, Prabowo angkatan 74, beda 5 angkatan (angkatan 69 tidak ada).

Dari sisi kepangkatan saya bintang 4 (Jenderal), Prabowo bintang 2(Mayjen), jabatan saya merupakan jabatan puncak dalam tubuh ABRI, sedangkan dari pendekatan jabatan, Prabowo berada 2 level di bawah saya. Lalu apa yang harus dipersaingkan? Di mana letak persaingan itu? Maka saya selalu menyatakan bahwa tidak ada persaingan pada saat itu yang dikaitkan dengan kerusuhan Mei 1998. Kalaupun ada pendapat lainnya silahkan saja, negeri ini bebas untuk menyatakan pendapat, asalkan masih dalam koridor hukum yang berlaku.

Beberapa kali Pak Prabowo menyatakan penyesalannya, pada saat krisis nasional di tahun 1998, sebagai Pangkostrad yang memiliki puluhan Batalyon tidak melakukan kudeta. Pada saat yang sama Bapak sebagai Panglima ABRI merangkap Menhankam serta mendapat mandat dari Presiden sebagai Panglima Komando Keamanan dan Keselamatan Nasional (semacam Super Semar tahun 1965) juga tidak mengambil kesempatan untuk mengambil alih negeri ini, dan Bapak menyatakan tidak pernah menyesal. Apa sebenarnya yang terjadi, mengapa sama-sama jenderal ada perbedaan penyikapan?

Perbedaannya sangat jelas, kalau menyesal tidak melakukan sesuatu, berarti ada niatan untuk melakukannya, sedangkan tidak menyesal, karena memang tidak ada niatan untuk melakukannya. Banyak kalangan yang tidak tahu bahwa sebenarnya tugas Pangkostrad hanyalah membina dalam arti mengorganisir, melatih, dan mengembangkan satuan tempur, untuk selanjutkan untuk penggunaannya  hanya dapat dilakukan oleh Panglima ABRI. Maka untuk mengerahkan satuan kostrad tanpa restu Panglima ABRI apalagi untuk kudeta jelas hal yang mustahil.

Posisi saya selaku Menhankam Pangab merangkap Panglima Komando Keamanan dan Keselamatan Nasional justru sangat kuat dan dengan mudah mengambil alih pemerintahan seperti yang sering terjadi di Thaiyland. Namun hal itu tidak saya lakukan karena beberapa pertimbangan. 


Pertama, saya akan berkuasa melalui secarik kertas dari mantan Presiden yang baru dijatuhkan oleh kelompok reformis, maka saya akan memperhadapkan ABRI dan rakyat, korban akan berjatuhan dalam jumlah besar.

Kedua, pada saat itu apapun alasannya rezjim militer yang berkuasa tidak akan mendapat simpati dari dunia internasional dan sangat mungkin mendapatkan embargo ekonomi saat ekonomi nasional terpuruk, kita akan kesulitan melakukan recovery ekonomi nasional yang sangat dibutuhkan saat itu. Ketiga, sekali kita lakukan pengambil alihan secara inkonstitusional (kudeta), maka seterusnya akan berulang, seperti yang saat ini sedang terjadi di beberapa kawasan Asia dan Afrika, Indonesia pasti akan tidak akan stabil dalam waktu yang lama, maka rakyat akan sengsara.

Mengapa saya tidak pernah menyesali, karena itulah yang seharusnya dilakukan prajurit yang tidak mengambil kesempatan tatkala negara dalam keadaan limbung. Keputusan saya untuk tidak mengambil alih merupakan ketulusan TNI untuk tetap mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia. Yang saya sesali saat ini adalah lambannya reformasi demokrasi di Indonesia yang telah belasan tahun belum juga membuahkan hasil yang diharapkan rakyat.

Apa saran Bapak selaku sesepuh TNI melihat terbelahnya para purnawirawan TNI dan Polri akibat perbedaan dukungan terhadap Capres pada Pemilu mendatang?


Saya rasa tidak terbelah, yang ada adalah perbedaan pendapat, dan itu tidak perlu dirisaukan, karena para Purnawirawan TNI setelah mengakhiri masa dinasnya dilingkungan TNI/Polri mendapatkan kembali hak politiknya untuk bebas memilih, dan tidak terikat kepada garis komando, dan hak itu harus dihormati oleh siapapun.

Saya yakin bahwa para purnawirawan masih memiliki kearifan untuk memainkan peran politiknya pada bingkai kebersamaan kita sebagai bangsa. Saya justru mensyukuri bahwa kehadiran para purnawaran di wilayah politik praktis akan mengambil bagian dari pelaksanaan Pemilu yang lebih jujur dan bermartabat, termasuk ikut menjaga netralitas TNI yang sudah saya mulai sejak Pemilu 1999 secara tulus dan sungguh-sungguh tatkala saya masih menjabat sebagai Menhankam/Pangab.


Editor: Pebriansyah Ariefana

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending