Amnesty International mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera membebaskan pemimpin komunitas Syiah di Sampang, Madura, Tajul Muluk, tanpa syarat. Menurut AI, Tajul Muluk adalah tahanan nurani (prisoner of conscience), dipenjara hanya karena secara damai mengekspresikan hak asasinya untuk kebebasan berkeyakinan, bernurani, dan beragama dan juga haknya untuk beropini dan berekspresi. Tajul Muluk divonis 4 tahun penjara atas tuduhan penodaan agama. Ia sudah menjalani hukumannya hampir dua tahun.
Pada 29 Desember 2011, Tajul Muluk diusir secara paksa bersama lebih dari 300 penganut Syiah lainnya, ketika sekelompok massa anti Syiah sekitar 500 orang menyerang dan membakar rumah-rumah mereka, sebuah pesantren, dan rumah ibadah penganut Syiah di Sampang, Jawa Timur. Pada 1 Januari 2012 Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Sampang –yang merupakan organisasi non-pemerintah - mengeluarkan fatwa “sesat” terhadap ajaran Tajul Muluk dan pada 16 Maret, Kepolisian Daerah Jawa Timur menetapkan Tajul Muluk sebagai tersangka untuk kasus penodaan agama.
Pengadilan Negeri (PN) Sampang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara pada 12 Juli 2012 dan menyatakan ia bersalah karena Al Qur’an versi yang digunakan Tajul Muluk bukan merupakan kitab yang asli. Tajul Muluk menyangkal tuduhan ini. Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya 10 September, vonis Tajul Muluk justru ditambah menjadi 4 tahun penjara. Menurut PT Surabaya, penambahan hukuman tersebut karena Tajul Muluk telah menyebabkan “ketidakharmonisan di antara umat Muslim” dan agar ada “efek jera”.
Menurut Amnesty International, tuntutan dan hukuman terhadap Tajul Muluk berlawanan dengan kewajiban Indonesia di bawah Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) - secara khusus Pasal 18, yang melindungi hak-hak individu atas kebebasan berkeyakinan, bernurani, dan beragama; dan Pasal 19, yang menjamin hak atas kebebasan beropini dan berekspresi.
"Pihak berwenang Indonesia juga harus mencabut pasal-pasal penodaan agama di KUHP dan undang-undang yang lain yang telah digunakan di Indonesia untuk memenjarakan orang untuk paling lama lima tahun, hanya karena mereka menjalankan secara damai hak-hak mereka atas kebebasan berekspresi atau beragama. Pasal-pasal ini seringkali digunakan untuk menyasar individu-individu yang menganut suatu agama atau kepercayaan minoritas," tulis AI dalam siaran persnya.