KBR, Jakarta- Pemerintah tengah meninjau permintaan TNI Angkatan Laut (TNI AL) untuk ”memutihkan” tunggakan pembayaran bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai Rp3,2 triliun kepada Pertamina.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan kajian mengenai permintaan tersebut masih berlangsung secara internal.
“Kami lagi mengkaji dari Dirjen Migas dengan Inspektur Jenderal,” kata Bahlil saat kunjungan kerja di Senipah, Kalimantan Timur, Rabu (30/4/2025), seperti dikutip Antara.
Dari pihak TNI AL, Kepala Staf Jenderal (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengemukakan permintaan pemutihan tersebut dalam rapat dengan Komisi I DPR pada Senin (28/4).
Ali mengatakan total tunggakan BBM TNI AL kini mencapai Rp5 triliun, yang terdiri dari utang lama sebesar Rp2,25 triliun dan tambahan utang baru sebesar Rp3,2 triliun.
“Penggunaan BBM kita masih dikenakan harga industri, dan ini sangat membebani operasional,” ujar Ali.
Ia juga mengusulkan agar BBM untuk kapal perang disubsidi dan pengelolaannya diserahkan kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan) demi integrasi yang lebih baik.
Menhan Siap Sentralisasi dan Digitalisasi
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menyatakan kesiapannya untuk mengambil alih pengelolaan BBM bagi seluruh satuan TNI secara terpusat.
Sjafrie berkomitmen untuk memperkuat sistem distribusi BBM dengan memanfaatkan teknologi digital, guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
“Sistem digitalisasi ini akan menyangkut penggunaan dan pelacakan BBM, agar akuntabel dan transparan,” katanya dalam rapat bersama Komisi I DPR, Rabu (30/4).
Langkah ini, menurut Sjafrie bertujuan agar pengeluaran BBM yang dibiayai oleh negara dapat dimonitor secara aktual atau real-time.
DPR Soroti Lemahnya Perencanaan
Namun, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem, Amelia Anggraini, menilai usulan pemutihan ini mencerminkan lemahnya perencanaan anggaran dan penggunaan BBM di lingkungan TNI.
“Apakah Kemhan sudah menyusun ulang formula penggunaan BBM operasional TNI yang lebih efisien? Agar tidak terus menumpuk utang seperti ini," ujarnya.

Amelia juga mendorong Kemhan untuk menerapkan sistem kuota atau pelacakan barcode guna mengurangi pemborosan dan mencegah terulangnya utang serupa di masa mendatang.
Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen ini menilai tunggakan triliunan rupiah tersebut mengkhawatirkan.
"Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi dan akuntabilitas anggaran pertahanan," katanya.
Baca juga:
- Pertamina Minta Maaf soal Dugaan Pertamax Oplosan, LBH Jakarta: Belum Cukup!
Buruknya Tata Kelola Anggaran
Dari sisi transparansi, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan kritik terhadap permintaan pemutihan yang diajukan KSAL.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah, menjelaskan permintaan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan menunjukkan lemahnya tata kelola anggaran di lingkungan TNI AL.
Menurut data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) milik LKPP, pagu anggaran Mabes TNI AL untuk pengadaan barang dan jasa (tidak termasuk belanja pegawai) tahun 2025 tercatat sebesar Rp11,08 triliun.
Meskipun mengalami penurunan dari Rp24,4 triliun menjadi Rp18,3 triliun setelah efisiensi, ICW berpendapat bahwa anggaran tersebut masih cukup untuk menutup tunggakan.
"Dengan komposisi anggaran yang ada, tidak ada alasan logis untuk meminta pemutihan. Permintaan KSAL tidak sah secara hukum," tegas Wana kepada KBR pada Jumat (2/5/2025).
ICW juga mencatat bahwa sejak tahun 2022, Mabes TNI AL diduga tidak lagi melakukan pengadaan BBM Pelumas (BMP), meskipun telah menerapkan pelaporan digital melalui sistem e-BMP.
"Digitalisasi yang diterapkan tidak berjalan efektif dan perlu dievaluasi, karena tunggakan tetap terjadi," tambahnya.

ICW Desak Audit dan Penindakan
Terakhir, ICW menyoroti kurangnya transparansi dalam pengadaan BMP, di mana informasi terkait laporan keuangan Kementerian Pertahanan yang coba ditelusuri ICW di situs Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak ditemukan sejak tahun 2020.
“Menyiratkan belum adanya audit untuk pengadaan tersebut. ICW kemudian mendesak perlunya audit dan penindakan untuk memperbaiki situasi yang ada,” tulisnya.
ICW memberikan peringatan bahwa tunggakan yang belum diselesaikan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi Pertamina sebagai penyedia bahan bakar minyak.
Oleh karena itu, ICW mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit terhadap pengadaan dan pembayaran BMP oleh TNI AL serta mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat.
Selain itu desakan juga tertuju pada KPK melakukan pemantauan yang ketat terhadap pengadaan BMP untuk mencegah kemungkinan terjadinya korupsi. Kata Wana, jika ditemukan indikasi penyimpangan atau korupsi, KPK harus mengambil langkah hukum yang diperlukan.
“Mekanisme check and balances hanya akan berfungsi dengan baik jika proses pengadaan dilakukan secara transparan dan bisa diawasi oleh publik,” pungkasnya.
Baca juga: