KBR, Jakarta - Dewan Pers mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini yang artikelnya ditayangkan di Detik.com pada 22 Mei 2025. Opini itu mengkritisi pengangkatan Letjen Djaka Budi Utama sebagai dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Opini itu dicabut setelah penulis merasa terancam.
Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menegaskan pentingnya menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga.
“Kami mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga. Dewan Pers menilai penghapusan sebuah artikel opini atas permintaan penulis adalah hak yang perlu dihormati oleh redaksi,” ujar Komaruddin dalam pernyataan resmi, Sabtu (24/5/2025).
Namun, Dewan Pers mengingatkan setiap pencabutan artikel harus transparan. Tujuannya untuk mencegah munculnya spekulasi dan menjaga akuntabilitas media.
Saat ini, Dewan Pers sedang memverifikasi laporan yang diajukan oleh penulis.
Komaruddin menegaskan komitmennya terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Dewan Pers mengimbau semua pihak untuk menghormati kebebasan berpendapat serta menghindari penggunaan kekerasan dan tindakan main hakim sendiri," kata Komaruddin.

Sebelumnya, redaksi Detik.com mengunggah opini berjudul 'Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?'. Artikel tersebut kemudian ditarik dengan alasan semula atas rekomendasi Dewan Pers dan demi keselamatan penulis.
Namun, diklarifikasi redaksi kemudian diubah.
"Redaksi menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Kami memohon maaf atas keteledoran ini. Sementara mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis Detik.com.
Dari informasi yang dihimpun KBR, penulis dua kali mengalami serangan pada hari opini tersebut terbit. Pertama, dia diserempet orang tak dikenal. Kemudian diikuti orang tak dikenal dan ditendang hingga terjatuh dari motor.
Model Represi Orde Baru
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam keras dugaan intimidasi tersebut. Ketua AJI Indonesia Nany Afrida menyebut aksi teror ini sebagai bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi dan UU Pers.
“Ini bukan hanya serangan terhadap individu yang menyampaikan opini, tetapi juga ancaman serius terhadap kebebasan pers, hak publik atas informasi, dan fondasi demokrasi,” kata Nany dalam keterangan resmi, Minggu (25/5/2025).
Menurut catatan AJI, kasus ini memperpanjang daftar serangan terhadap kebebasan berekspresi sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Mulai dari penarikan lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' oleh Band Sukatani, siswa di Bogor yang dipaksa minta maaf usai merekam kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga penangkapan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membuat meme Jokowi dan Prabowo.
"Pola-pola ini menciptakan chilling effect, membuat publik takut bersuara dan media enggan membuka ruang kritis. Ini sinyal buruk bagi demokrasi," kata Nany.
AJI mengajak seluruh media, organisasi jurnalis, masyarakat sipil, dan publik luas, bersolidaritas melawan segala bentuk teror dan upaya pembungkaman.
“Ketika satu suara dibungkam, yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua,” lanjut Nany.
Baca juga:
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung bilang pola intimidasi seperti ini mengingatkan pada represi gaya Orde Baru. Ia mendesak negara tidak mengabaikan peristiwa ini.
“Aparat penegak hukum harus mengusut kasus teror ini. Negara tidak bisa membiarkan intimidasi menjadi senjata untuk membungkam suara rakyat,” tegas Erick.
AJI mendesak Komnas HAM menginvestigasi kasus ini dan memberikan perlindungan langsung kepada penulis. AJI juga mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengusut dugaan intimidasi. Sebab menurut Erick, pembiaran hanya akan menciptakan preseden buruk bagi ruang sipil.
AJI juga menyerukan kepada Presiden Prabowo untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap demokrasi dan segera menghentikan praktik penempatan militer aktif di jabatan sipil.
Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019 hingga 2024, setidaknya ada 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan dalih UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ratusan kasus itu menyasar sedikitnya 560 warga sipil.
Dari jumlah itu, 421 kasus dengan 449 korban telah mendapat putusan di pengadilan negeri.
Mengapa Pengangkatan Djaka Menuai Sorotan?
Menteri Keuangan Sri Mulyani melantik Djaka Budi Utama sebagai dirjen Bea Cukai pada Jumat (23/5/2025). Saat pelantikan, Sri Mulyani menekankan pentingnya peran penerimaan negara dalam mengelola keuangan negara.
“Penerimaan negara adalah andalan, namun penerimaan negara menjadi tantangan utama,” ujar Sri Mulyani.
Sebelum dilantik menjadi dirjen Bea Cukai, Djaka Budi Utama bersama dengan Bimo Wijayanto —kini dirjen pajak— dipanggil Presiden Prabowo Subianto ke Istana Negara, Selasa (20/5/2025).
"Hari ini saya dengan Pak Letjen Djaka Budi Utama dipanggil oleh Bapak Presiden. Beliau memberikan banyak arahan, beliau menegaskan komitmen beliau untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia supaya lebih akuntabel, lebih berintegritas, lebih independen untuk mengamankan program-program nasional beliau, khususnya dari sisi penerimaan negara. Saya diberikan mandat nanti sesuai dengan arahan menteri keuangan, akan bergabung dengan Kementerian Keuangan, begitu juga dengan Letjen Djaka," ujar Bimo kepada Wartawan, Selasa (20/5/2025).

Sementara itu, Istana mengklaim pengangkatan Djaka sebagai dirjen Bea Cukai sesuai prosedur. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan posisi itu diisi Djaka karena Bea Cukai membutuhkan sosok yang berani mengatasi penyelundupan barang ilegal.
"Bahwa Bea Cukai ini setelah kami pelajari, itu membutuhkan sosok yang memang harus berani. Karena di situ, mohon maaf ya, tetapi kami semua paham bahwa banyak sekali pelanggaran-pelanggaran itu yang masuknya melalui jalur Bea Cukai," kata Prasetyo di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Menurut Prasetyo, pengangkatan Djaka dilakukan atas usulan dari Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dari sektor pajak dan bea cukai.
"Kami merasa bahwa setelah kami pelajari, itu banyak sekali hal-hal yang memang harus kami benahi. Dan itu menjadi concern pemerintah, concern Bapak Presiden, concern Ibu Menteri Keuangan," kata Prasetyo.
Kritik terhadap Pengangkatan Djaka
Pengangkatan Djaka Budi Utama menuai sorotan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menurut catatan KontraS, Djaka adalah bekas anggota Tim Mawar—tim yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada masa Orde Baru. Kopassus saat itu dipimpin Prabowo Subianto, kini Presiden RI.
Tim Mawar terlibat dalam penghilangan paksa aktivis pro reformasi pada kurun 1997-1998. Beberapa anggota Tim Mawar divonis bersalah, salah satunya Djaka.
"Sekaligus adalah bekas bawahan Presiden Prabowo pada satuan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) serta secara spesifik tergabung dalam Tim Mawar yang divonis bersalah dan dihukum penjara 16 bulan melalui Putusan Mahkamah Militer Tinggi II," ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam rilis yang diterima KBR, Senin (26/5/2025).
Menurut Dimas, pengangkatan Djaka sebagai dirjen Bea Cukai menjadi ancaman serius bagi masa depan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
KontraS juga menilai pengangkatan Djaka melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Beleid itu mengatur syarat pengangkatan pejabat non-PNS dalam Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya.
"Di antaranya, memiliki pengalaman minimal 10 tahun di bidang terkait, berpendidikan pascasarjana, dan tidak pernah dipidana. Berdasarkan catatan publik, Djaka tidak memenuhi ketiganya," kata Dimas.
Dari catatan KontraS, Djaka bukan satu-satunya eks Tim Mawar yang kini mendapat jabatan penting. Ada nama Nugroho Sulityo Budi yang menjadi kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Dadang Hendra Yudha sebagai deputi di Badan Gizi Nasional (BGN).
"Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Pemerintah harus memastikan siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran HAM diproses sesuai hukum,” tegas Dimas.

Pengangkatan Djaka juga menuai kritik karena berlatar TNI aktif. Djaka sebelumnya menjabat sebagai sekretaris utama Badan Intelijen Negara (BIN).
Dia pernah menjadi Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam tahun 2021 hingga 2023. Dia juga sempat menjadi Staf Khusus Panglima TNI pada 2023.
Purna Tugas dari TNI
TNI mengklaim Djaka telah mengajukan pengunduran diri dari dinas militer dan mengikuti proses pensiun dini sesuai ketentuan yang berlaku.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI (Kapuspen) Kristomei Sianturi dalam keterangan tertulis kepada KBR, Jumat (23/5/2025). Kata dia, Djaka per tanggal 14 Mei 2025 resmi tidak lagi berstatus sebagai prajurit TNI aktif.
"Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/566/V/2025 tanggal 5 Mei 2025 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan Dalam Jabatan di Lingkungan TNI. Letjen TNI Djaka Budi Utama dimutasikan menjadi Pati Khusus Mabesad," kata Kristomei kepada KBR, Jumat (23/5/2025).
"Tanggal 6 Mei 2025, pengajuan usul pemberhentian dengan hormat a.n. Letjen TNI Djaka Budhi Utama, S.Sos., kepada Sekretariat Militer Presiden untuk mendapatkan proses administrasi lebih lanjut," lanjutnya.
Kristomei Sianturi menyebut Djaka juga telah memasuki masa pensiun dini. Penugasan di lingkungan kementerian/lembaga sipil dilakukan setelah melewati proses pemberhentian secara resmi dari dinas militer.
Mengabaikan Meritokrasi
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai pengangkatan Djaka sebagai dirjen Bea Cukai mengabaikan prinsip meritokrasi.
“Kalau tokoh yang ditunjuk ternyata bukan berdasar kapasitas, tapi hanya karena relasi politik atau kekerabatan, itu adalah bentuk kemunduran. Pemerintahan seharusnya tidak dibangun atas dasar loyalitas personal semata,” kata Dedi kepada KBR, Jumat (23/5/2025).
Meskipun pengangkatan pejabat merupakan hak prerogatif presiden, publik tetap berhak mempertanyakan dasar penunjukan yang menyangkut kredibilitas institusi. Apalagi, Djaka merupakan sosok yang pernah dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dedi mengingatkan posisi strategis seperti Bea Cukai tidak boleh dijadikan ajang konsolidasi politik atau hadiah bagi loyalis.
“Ada sisi baiknya dari memilih orang yang dikenal, tapi risikonya adalah negara bisa terjebak dalam praktik anti-meritokrasi yang justru memperburuk tata kelola,” ujarnya.
Bea Cukai sebagai institusi teknis seharusnya bebas dari tarikan politik. Namun, ia tetap menekankan pentingnya pengawasan masyarakat sipil dan media.
“Kalau sampai ada konflik kepentingan, itu berisiko sekali. Tapi sejauh ini melihat Prabowo sebagai pribadi, saya kira dia layak dipercaya dalam menunjuk tokoh-tokoh yang ia pilih,” ujarnya.
Baca juga:
- RPP Manajemen ASN Melanggar UU TNI dan Polri?
- Revisi UU ASN, Perlukah Presiden Bisa Mutasi Eselon I dan II?