KBR, Jakarta- Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinilai sudah tidak relevan atau sesuai dengan kondisi ekonomi nasional saat ini. Karena itu, sejumlah pihak mendorong pemerintah menaikkan batas PTKP yang kini berlaku. Salah satunya dari kalangan buruh.
Wakil Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kahar S. Cahyono menyebut menaikkan batas PTKP jadi salah satu tuntutan buruh saat May Day.
Menurutnya, batas PTKP saat ini, yakni Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun terlalu rendah. Batas PTKP tersebut sudah tak sesuai situasi ekonomi kekinian. Kahar meminta, batas PTKP dinaikkan Rp10 juta per bulan. Itu artinya penghasilan di bawah itu tak kena pajak penghasilan.
“Saat ini, banyak buruh dengan penghasilan pas-pasan justru terkena pajak karena batas PTKP sudah tidak relevan dengan biaya hidup yang terus naik. Padahal, gaji mereka belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi ditambah beban pajak,” kata Kahar kepada KBR, Rabu, (21/05/25).
Ia menyebut, dengan menaikkan PTKP, negara tetap bisa mengatur sistem pajak yang adil dan proporsional sambil memberi ruang bernapas bagi buruh. Hal tersebut sejalan prinsip keadilan sosial dalam perpajakan yakni: yang kuat membayar lebih, yang lemah tidak dibebani.

Pekerja dan Pengusaha Diuntungkan
Tuntutan serupa disampaikan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat. Kata dia, dengan menaikkan batas PTKP, ada dua sisi yang diuntungkan, yakni pekerja dan pengusaha.
Dari sisi pekerja, daya belinya akan meningkat. Sebab, jika pendapatannya tidak kena potong, maka dapat alokasikan untuk belanja produktif, semisal untuk kebutuhan dasar hingga pendidikan anak.
“Kalau dari sisi pengusaha tentu dampaknya adalah ketika pekerja itu meningkat daya belinya. Artinya produk yang dihasilkan si pengusaha di level kecil, menengah, dan besar itu, kan, bisa terserap dengan baik. Bisa terjual dengan baik dan lakulah gitu,” kata Mirah kepada KBR, Rabu, (21/05/25).
Kata dia, menaikkan ambang batas PTKP bakal membawa dampak perekonomian bergerak lancar di Indonesia. Mirah juga mengeluhkan beban pungutan terhadap buruh, yang bukan hanya dari pajak upah.
Buruh, kata dia, juga dibebankan pajak ketika mencairkan BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua, hingga pesangon. Kenaikan PTKP diharapkan dapat sedikit mengurangi beban pekerja saat ini. Sama seperti Kahar, ia meminta batas PTKP di angka Rp10 Juta.
“Pendapatan 5 juta masih minus dari kebutuhan. Maka, yang ideal sekitar 7 jutaan ,ya, itu harapan saya atau di bawah 10 juta, itu harapan saya tidak dikenakan pajak gitu, ya. Jadi, upah 10 juta harapan saya itu yang bisa dikenakan pajak,” tambahnya.

PTKP
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah jumlah pendapatan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. PTKP berfungsi sebagai pengurang dalam perhitungan PPh Pasal 21, sehingga penghasilan di bawah batas PTKP tidak dikenakan pajak.
PTKP diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya PTKP.
Saat ini batas PTKP untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dengan status tidak kawin dan tanpa tanggungan adalah Rp54.000.000 per tahun atau Rp4.500.000 per bulan.
Jika WP memiliki penghasilan lebih dari Rp4.500.000 sebulan, maka harus membayar PPh 21.
Tarif PPh 21 bersifat progresif yakni dari 5-30 persen. Misalnya untuk penghasilan Rp50.000.000 per tahun akan dikenakan PPh 21 sebesar 5%. Sementara untuk penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun akan dikenakan tarif tertinggi, yakni 30%.
Naik Bertahap
Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Badiul Hadi menyarankan kenaikan PTKP dilakukan bertahap sebagai upaya memperbaiki kondisi fiskal sekaligus memantau perkembangan kondisi perekonomian masyarakat.
Ia mengusulkan, PTKP dinaikkan di kisaran angka penghasilan Rp5 hingga Rp7 juta rupiah per bulan. Menurutnya, batas ini lebih moderat ketimbang usulan untuk langsung menaikkan di angka Rp10 juta.
Sambil naik bertahap, ia meminta pemerintah mengkaji dampak fiskalnya bagi pemerintah. Sebab, meskipun bakal mendorong ekonomi, di sisi lain bakal ada dampak negatif kebijakan tersebut, yakni berkurangnya pendapatan negara dari pajak.
“Karena kita tahu bahwa PTKP ini diharapkan bisa berkontribusi secara optimal dalam mendorong daya beli masyarakat, sehingga kemudian dari daya beli masyarakat ini bisa meningkatkan nilai tambah daripada sektor pajak kita, sehingga ini kemudian berdampak pada pendapatan negara,” kata Badiul kepada KBR, Rabu, (21/05/25).

Reformasi Perpajakan
Kata dia, untuk menghindari dampak negatif kenaikan PTKP, pemerintah harus mengimbangi dengan mereformasi sektor perpajakan secara menyeluruh.
Contohnya, yakni memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan dari kelompok atas dan korporasi besar, serta menata ulang insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran.
Itu sebab kata dia, kebijakan revisi PTKP tidak bisa berdiri sendiri. Kata dia, kebijakan kenaikan PTKP adalah pelengkap strategi untuk memperkuat kebijakan insentif sektoral yang sudah ada.
“Selain itu, kenaikan PTKP bukan sekadar kebijakan keringanan pajak, tetapi juga menjadi kunci untuk mengoptimalkan pemanfaatan insentif di sektor properti dan kendaraan listrik yang selama ini skemanya sudah disiapkan oleh pemerintah,” kata dia
Badiul merinci, secara makro kebijakan merevisi PTKP bisa mendorong peningkatan daya beli masyarakat khususnya pada sektor otomotif dan properti. Sementara secara mikro bakal berdampak mendorong daya beli masyarakat kelas menengah secara luas.
Ia menyebut, dorongan yang bisa ditujukan kepada pemerintah adalah pelaksanaan dialog tripatrit secara intensif antarpemerintah, pengusaha dan pekerja untuk membahas kenaikan PTKP. Dialog tersebut sangat penting untuk memastikan beban fiskal tidak terbebani lebih dalam lagi.
Di satu sisi, hal ini juga untuk mendorong komitmen efisiensi belanja pemerintah agar lebih optimal. Sebab, pemerintah dinilai perlu menyatukan kenaikan PTKP dengan program lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Karena kita tahu bahwa ada pertumbuhan negatif pendapatan negara dari sektor pajak. Selain itu, saya kira pemerintah juga penting untuk mempertimbangkan mengintegrasikan kebijakan kenaikan PTKP dengan program-program lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi seperti insentif bagi sektor produktif dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan,” pungkasnya.

Pemerintah Enggan Menaikkan PTKP?
Sementara itu, Ppmerintah memberi sinyal tak akan menaikkan batas PTKP. Mengutip Kontan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, belum berencana mengubah kebijakan PTKP.
Airlangga enggan memberikan alasannya. Namun, kata dia, pemerintah telah memberikan berbagai insentif sebagai stimulus bagi masyarakat luas sehingga kebijakan kenaikan PTKP sebaiknya ditunda.
“(PTKP) jangan dinaik-naikan dulu,” kata Airlangga dikutip dari Kontan, Jumat, (16/05/25).

Rata-Rata Upah
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata gaji atau upah buruh Februari 2025 di Indonesia adalah Rp3.094.818.
BPS mengelompokkan gaji dalam 17 sektor, A hingga U. Sektor A meliputi pertanian, kehutanan, dan perikanan (Rp2.247.459).
Sektor B pertambangan dan penggalian (Rp5.086.094). Sektor C, industri pengolahan (Rp3.090.532), sektor D pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin (Rp5.040.313). Lalu, sektor R, S, T, U adalah aktivitas jasa lain, dengan besaran upah Rp1.808.930.
Baca juga: