KBR, Jakarta- Pengangkatan jenderal polisi aktif menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dinilai tidak selaras dengan aturan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan penunjukkan Irjen Pol. Mohammad Iqbal melanggar aturan. Sebab, ada dua kriteria penting sebagai rujukan dasar figur sekjen yang diamanatkan UU MD3, yaitu pegawai negeri sipil dan profesional.
Menurut Lucius, DPD RI telah mengeluarkan keputusan yang keliru saat mengangkat eks Kapolda Riau tersebut..
"Saya kaget betul ya, seorang Irjen Polisi menjabat Sekjen DPD. Entah dapat inspirasi dari mana DPD bisa punya inisiatif lain dari yang lain dengan memberikan jabatan kesekretariatan jendral kepada polisi. Padahal Sekjen adalah posisi yang menurut Pasal 414 ayat (2) UU MD3 harus berasal dari Pegawai Negeri Sipil profesional. Nah yang kayak gini-gini kan susah kita mencernanya," ujar Lucius dalam keterangan diterima KBR, Selasa (20/5/2025).
Janggal dan Tak Beralasan
Lebih lanjut, Lucius pun merasa janggal jika polisi aktif dibiarkan mengisi jabatan sipil secara seenaknya.
"Hakikatnya polisi aktif dilarang menduduki jabatan diluar kepolisian. Tentu saja dalam kasus ini saya melihat ada pengecualian. Saya tidak melihat ada relevansinya antara profesionalisme polisi dengan kursi sekjen DPD. Aneh ini," katanya.

Lucius menambahkan pemilihan figur dari kepolisian bisa mencerminkan paradigma keliru dari pimpinan DPD.
Pasalnya, ia menilai kepolisian tidak cukup kompeten dalam menjalankan tugas dan wewenang DPD.
"Coba kita lihat DPD selama ini tidak bekerja secara optimal. Nah seharusnya mereka memperkuat lembaga dengan menunjuk Sekjen yang benar-benar profesional dan memiliki kompetensi di bidang administrasi kelembagaan," imbuhnya.
Pengangkatan Mohammad Iqbal menjadi Sekjen DPD RI
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI resmi mengangkat Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI.
Pelantikan ini sesuai dengan Keppres Nomor 79/TPA Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah RI, yang ditetapkan di Jakarta pada 9 Mei 2025.
Prosesi pelantikan Iqbal dilaksanakan di Gedung DPD RI, Jakarta Senin (19/5/2025) yang dipimpin langsung oleh Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin.
"Mengangkat saudara Irjen Polisi Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI terhitung sejak saat pelantikan. Dan kepadanya diberikan tunjangan jabatan struktural eselon IA sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Sultan saat membacakan naskah pelantikan, Senin (19/5/2025).

Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin beralasan latar belakang Irjen Iqbal sebagai personel Polri telah menunjukkan dedikasi dan profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Sehingga, ia percaya atas dasar pengalaman itu Iqbal akan bermanfaat dan mampu meningkatkan kinerja DPD RI.
"Saya percaya bahwa saudara akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan yang Maha Esa, senantiasa bersama kita,” lanjutnya.
Irjen Iqbal Janji Kerja Maksimal di DPD RI
Usai dilantik, Irjen Pol. Mohammad Iqbal menegaskan dirinya siap mengemban tugas dalam jabatan baru dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, dia juga berjanji bakal bekerja maksimal atas amanah yang diberikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Ini merupakan amanah bagi saya yang sudah ditugaskan oleh Pak Kapolri. Saya siap bertugas melakukan kerja-kerja di DPD RI. Saya akan melakukan kerja-kerja maksimal di sini melakukan dukungan administratif, keahlian, sesuai dengan tugas dan fungsi DPD secara konstitusi,” ucapnya, Senin (19/5).
Pembelaan Polri
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, pengangkatan Mohammad Iqbal, sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI sudah dilakukan berdasarkan regulasi atau aturan berlaku.
Trunoyudo mengatakan, ada 4 aturan yang digunakan untuk memvalidasi posisi pati Polri sebagai Sekjen DPD RI.
Pertama, UU Polri, lalu yang kedua yakni Undang-Undang Nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur sipil negara. Ketiga, PP nomor 11 tahun 2017 tentang manajemen pegawai negeri sipil pasal 147.
"Keempat, pasal 148 yang mengatur Polri dapat menduduki jabatan ASN tertentu. Termasuk, Polri juga telah mengatur mekanisme penugasan anggota Polri telah diatur dalam perkap 14 tahun 2017 dan Perpol 12 tahun 2018," jelas Truno.
Trunoyudo juga menyebut nama Mohammad Iqbal dipilih atas dasar dari permintaan Ketua DPD RI yang selanjutnya disetujui oleh Kapolri.

Pengangkatan juga Melanggar Aturan dalam Undang-Undang Polri dan Undang-Undang ASN
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto mendesak Irjen Pol. Mohammad Iqbal mundur dari Kepolisian usai resmi dilantik sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI.
Hal ini dikarenakan ia menilai pelantikan itu bertentangan dengan Undang-Undang Kepolisian, karena yang bersangkutan masih berstatus sebagai polisi aktif.
"Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri jelas mengatur bahwa polisi aktif yang menduduki jabatan non-kepolisian di luar 11 jabatan yang diperkenankan harus mundur atau pensiun dini dari Kepolisian. Jadi aturannya jelas, nah sayangnya seringkali polri berdalih dengan alasan penjelasan pasal 28 ayat 3. Penjelasan pasal 28 ayat 3 itu mengatakan bahwa penempatan personil polri di luar struktur itu terkait dengan bidang yang masih berkaitan dengan tugas kepolisian dan atau mendapatkan surat tugas dari Kapolri," ujar Bambang kepada KBR, Selasa (20/5/2025).
"Maka, pilihan bagi irjen Iqbal adalah mundur dari kepolisian atau mundur dari jabatannya di DPD," lanjutnya.
Selain itu, pengangkatan Iqbal ini juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Tabrak Batasan Demokrasi dan Jauhi Semangat Reformasi
Bambang turut menyayangkan peristiwa rangkap jabatan semakin dilanggengkan di negara ini.
Padahal, kata dia, Indonesia telah memiliki aturan-aturan yang mengikat dan bisa menjadi batasan dalam berdemokrasi dan bernegara dengan baik. Hanya saja, implementasinya tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.
"Dalam hal ini Kapolri yang ditugaskan dan dipilih oleh presiden harus tahu diri atau batasan-batasan terkait dengan undang-undang. Pelanggaran itu tentu tidak bisa dibiarkan, karena kasus semacam ini terus terulang,” ujar Bambang.
“Kalau undang-undang polri saja dilanggar oleh Kapolri tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang lain. Ini bahaya," tambahnya.
Lebih lanjut, Bambang pun mengingatkan bahaya konflik kepentingan jika anggota kepolisian aktif secara masif masuk dalam jabatan sipil.
"Tentu hal ini jauh dari semangat reformasi 98. Mengapa penting sekali membatasi personel Polri di luar struktur ini?, Ya karena untuk menjaga agar polri yang bertugas sebagai penegak hukum itu tidak mendapatkan konflik kepentingan ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang menyangkut kementerian atau lembaga," tegasnya.
Siapa Mohammad Iqbal?
Mohammad Iqbal menamatkan pendidikan di Akademi Kepolisian pada 1991.
Iqbal memulai karier sebagai Perwira Pengamat dan Pengendali di Polresta Banjarmasin pada 1992.
Kariernya terus menanjak hingga mengisi sejumlah jabatan strategis, seperti; Kapolres Metro Jakarta Utara Polda Metro Jaya (2013), Kabid Humas Polda Metro Jaya (2015), Kapolrestabes Surabaya (2016), Wakapolda Jawa Timur (2018).

Karirnya makin moncer saat mendapat bintang dua di pundak, kala menjabat Kadiv Humas Polri (2018), lalu Kapolda NTB (2020), dan Kapolda Riau (2021).
Sebelum menjabat sebagai Sekjen DPD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merotasi Irjen Mohammad Iqbal dari Kapolda Riau menjadi Pati Baharkam Polri dalam rangka penugasan di DPD RI.
Aturan Polisi Hanya Bisa Mengisi 11 Pos Kementerian/Lembaga
DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dari perubahan tersebut, prajurit TNI dan anggota Polri tetap bisa menempati jabatan ASN tertentu. Hal ini tertuang dalam Pasal 19 draf perubahan UU ASN.
Dalam Pasal 19 Ayat (4) UU ASN, personel Polri bisa mengisi 11 pos kementerian dan lembaga di instansi pusat yang mencakup:
1. Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian di bidang politik dan keamanan negara;
2. Sekretariat militer Presiden;
3. Intelijen negara;
4. Sandi negara;
5. Ketahanan nasional;
6. Pencarian dan pertolongan nasional;
7. Penanggulangan narkotika nasional;
8. Penanggulangan bencana nasional;
9. Penanggulangan terorisme;
10. Pemberantasan korupsi; dan
11. Keamanan laut.
Baca juga:
- Gandeng Polri, Badan Perfilman Indonesia Blunder?
- Polisi Lakukan Kekerasan Seksual, Kompolnas: Sanksi Tegas!