KBR, Jakarta - Pemerintah diminta mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Putusan itu mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun baik di sekolah negeri maupun swasta.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bakal mengawal implementasi putusan tersebut. Menurut Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, putusan MK merupakan kemenangan masyarakat sipil dalam memperjuangkan akses pendidikan yang setara.
"Jadi ada banyak laporan dari masyarakat soal pelayanan pendidikan ini masih sangat diskriminatif gitu ya. Ada anak-anak yang dilayani lewat pendidikan sekolah negeri, ada anak-anak yang dilayani lewat pendidikan sekolah swasta. Ini kok diskriminatif? Masyarakat merasa kenapa biaya sekolah di swasta ini kok mahal? Ada macam-macam lah mulai dari masuk uang pangkal, uang gedung, SPP bulanan, ini itu, ini itu banyak sekali," ujar Ubaid kepada KBR, Rabu (28/5/2025).
"Sementara yang masuk sekolah negeri kok bisa bebas biaya? Kok enggak ada pungutan? Kan kita ini sama-sama anak Indonesia, kenapa dibedain? Yang di negeri tanpa dipungut biaya, yang di swasta disuruh bayar terus," sambungnya.
Ubaid menduga pemerintah selama ini salah menafsirkan ketentuan undang-undang. Pasal 34 ayat (2) yang mengatur pendidikan dasar wajib diselenggarakan tanpa pungutan biaya, hanya dimaknai di sekolah negeri saja.
"Di pasal itu tidak disebut kata ‘negeri’ atau ‘swasta’. Yang ada adalah anak Indonesia. Maka kami ajukan ke MK dan MK mengabulkan tafsir versi masyarakat: pendidikan dasar harus gratis untuk semua anak Indonesia," jelas Ubaid.

Anggaran Tak Tepat Sasaran
JPPI mencatat lebih dari 4 juta anak di Indonesia putus sekolah karena alasan ekonomi.
"Daya tampung sekolah negeri minim, jadi orang tua tak punya pilihan selain menyekolahkan anak ke swasta. Tapi biaya di swasta sangat memberatkan. Di sinilah diskriminasi terjadi," ujarnya.
Ia juga menyoroti tidak optimalnya penggunaan alokasi anggaran pendidikan nasional 20 persen dari APBN yang sempat dijanjikan naik menjadi 22 persen.
"Angkanya ratusan triliun, tapi masyarakat tak merasakan dampaknya. Sekolah rusak masih banyak, guru tak sejahtera, biaya pendidikan semakin mahal," tambahnya.
Baca juga:
- Penambahan Anggaran Pendidikan 2026, Apa Catatan agar Tepat Guna?
- Pendidikan Barak Militer Ala Dedi Mulyadi Harus Dievaluasi, Jangan Hanya Demi Konten
Bahkan, menurut JPPI, anggaran tersebut sebagian besar tidak dikelola oleh Kementerian Pendidikan atau Kementerian Agama, dua instansi yang seharusnya menangani urusan pendidikan.
Sebaliknya, dana itu tersebar ke lebih dari 20 kementerian dan lembaga lain, termasuk ke Kementerian Pertahanan dan Kepolisian.
Pemerintah Wajib Pastikan Kursi Sekolah untuk Semua
Ubaid mengatakan pemerintah harus memastikan anak yang akan bersekolah mendapatkan layanan pendidikan. Dia bilang pemerintah pusat dan daerah tak boleh hanya mengacu kepada daya tampung sekolah negeri saja, sehingga mereka yang tersisih terpaksa putus sekolah.
Jika daya tampung negeri tak cukup, pemerintah harus bekerja sama dengan sekolah swasta untuk memenuhi kebutuhan kursi tambahan.
"Dalam konteks pendidikan berapa kursi sekolah, bangku sekolah yang akan disediakan. Itu tahap kedua. Jadi pertama itu berapa jumlah anak yang mau sekolah. Setelah ketemu kita akan menyediakan bangku sekolah seribu. Negeri mampu nampung berapa? Ternyata negeri mampu menampung 500. Nah yang 500 ini bagaimana cara nampungnya? Nah di situlah kemudian pemerintah daerah bekerja sama dengan swasta untuk menyediakan 500 kursi ini," jelas Ubaid.
JPPI mendesak refocusing anggaran pendidikan harus benar-benar menyentuh masalah utama. Tanpa adanya kemauan dari pemerintah, akan banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tak punya biaya.
"Presiden harus memimpin langsung. Kalau hanya mengandalkan Kemendikbud atau Kemenag, mereka hanya mengelola 5-8 persen dari anggaran pendidikan. Harus ada prioritas yang jelas dan pelibatan langsung pemerintah pusat," tegasnya.
Isi Putusan MK
Sebelumnya, MK menerima permohonan uji materi UU Sisdiknas yang diajukan Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sedangkan Riris pegawai negeri sipil (PNS).
Putusan MK nomor 3/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang terbuka, Selasa (27/5/2025).
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik 3 untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

MK meminta pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Hal itu berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas untuk sekolah negeri, menimbulkan kesenjangan.
"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.
MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar karena keterbatasan ekonomi dan sarana pendidikan.
Oleh karena itu, kata Enny, frasa 'tanpa memungut biaya' dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
"Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," sebut Enny.
Respons Pemerintah
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti berjanji akan segera membahas putusan MK. Namun dia mengingatkan, pemerintah punya keterbatasan anggaran.
"Kami baru akan membahas kalau sudah mendapatkan berkas salinan putusan lengkap. Inti dari putusan itu memang menyatakan bahwa pasal di UU Sisdiknas harus dimaknai punya kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar, bukan hanya sekolah negeri, tetapi juga sekolah/madrasah swasta. Namun, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah," ujar Mu'ti, Rabu (28/5/2025), dikutip dari ANTARA.
Sejauh ini, kewajiban negara dalam membiayai pendidikan dasar baik sekolah negeri maupun swasta tetap menyesuaikan kemampuan fiskal pemerintah.
Sehingga dia bilang, sekolah swasta masih bisa memungut biaya karena bantuan pembiayaan dari pemerintah terbatas.
Sementara itu, pemerintah bakal menambah alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2026.
"Tahun 2026, anggaran pendidikan diperkirakan akan mencapai Rp727 triliun hingga Rp761 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam Rapat Paripurna DPR RI Selasa (20/5/2025).
Artinya, jika mengacu pada kisaran tertinggi, rencana anggaran pendidikan di tahun depan dapat meningkat sekitar 5 persen dari pagu anggaran pendidikan pada 2025 yang tercatat sebesar Rp724,3 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, anggaran dengan kisaran tersebut ditujukan untuk meningkatkan akses, kualitas, dan menyelaraskan pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.

Menurut pengamat pendidikan Ina Liem, besar atau kecilnya persentase anggaran pendidikan bukan masalah utama. Besarnya anggaran seharusnya disesuaikan dengan target yang ingin dicapai negara.
"Tetapi yang jauh lebih penting, adalah aspek value for money, apakah anggaran tersebut menghasilkan capaian yang sepadan dan sudah digunakan secara efisien," tegas Ina Liem kepada KBR, Senin (26/5/2025).
Dia juga mendorong pemerintah serius membenahi kebocoran anggaran yang selama ini masih banyak terjadi.
"Dengan menutup kebocoran tersebut, sebenarnya kita bisa mengoptimalkan anggaran yang ada tanpa harus selalu menambah anggaran. Pengelolaan yang efisien dan berbasis kebutuhan akan jauh lebih berdampak bagi kualitas pendidikan kita," ujarnya.
Baca juga: