KBR, Yogyakarta- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mencatat angka perkawinan anak menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen pada 2021. Smentara di tahun selanjutnya atau 2022, turun menjadi 8,06 persen dan pada tahun 2023 menjadi 6,92 persen.
Meski demikian, angka ini masih tergolong tinggi, dengan rata-rata 8,64 persen secara nasional sepanjang periode 2020-2023.
Terjadinya pernikahan dini tersebut disebabkan beberapa faktor. Diantaranya faktor ekonomi, faktor sosial budaya, dan faktor lingkungan.
Deputi Bidang Penggerakan dan Peran Serta Masyarakat Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN, Sukaryo Teguh Santosa mengatakan, meski tidak berdampak secara langsung, rendahnya literasi keuangan pada masyarakat menjadi salah satu pemicu pernikahan dini.
"Kalau secara langsung saya nggak yakin, tapi pasti ada hubungannya lah ya. Pernikahan dini dan sebagainya, orang mau menikah itu kan perlu ubo rampe dan sebagainya itu urusannya juga masalah keuangan ya," katanya disela Kick Off Bulan Literasi Keuangan yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DIY, di Yogyakarta, Selasa (27/5/2025).
Hubungan antara Literasi Keuangan dengan Pernikahan Dini
Sukaryo menjelaskan, pemahaman literasi keuangan di dalam keluarga ini menjadi sangat penting untuk semua lini, termasuk bagi petugas atau penyuluh Keluarga Berencana (KB) yang turun ke lapangan dan langsung bertemu dengan masyarakat.
Bahkan baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan pernikahan remaja berumur 15 tahun dan 16 tahun di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Mereka garda terdepan sehingga kalau memiliki pemahaman, kemampuan di dalam penata kelolaan keuangan, literasi keuangan ini tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk masyarakat yang ada di wilayahnya," jelasnya.
Selain menjadi pemicu terjadinya pernikahan dini, minimnya literasi keuangan ini disebut Sukaryo, juga sebagai pemicu maraknya pinjaman online dan judi online di dalam keluarga, utamanya keluarga miskin.
Meski tidak mengetahui secara pasti jumlah keluarga miskin yang terjerat pinjaman online dan judi online, ia meyakini jumlahnya banyak. Hal ini lantaran pinjaman online dan judi online tersebut dapat dengan mudah diakses melalui gawai.
"Kalau data persisnya saya tidak tahu, tapi kalau banyak saya yakin banyaklah. Karena dengan teknologi yang saat ini dekat gitu, setiap keluarga punya gadget, aksesnya mudah. Saya yakin banyak dan ini jadi tantangan buat kita semua," ujarnya.

Relevasinya dengan Penurunan Angka Stunting
Di sisi lain, Sukaryo juga menyoroti penurunan angka stunting di Indonesia. Meski pada tahun lalu angka stunting hanya turun sedikit, namun tahun ini ia menargetkan mencapai angka 18 persen dan tahun 2029 menjadi 14 persen.
Penurunan angka stunting ini juga tak lepas dari kesadaran keluarga terhadap literasi keuangan meski pengaruhnya tidak secara langsung.
"Kalau pengarui tidak langsung sebenarnya, tapi pasti ada hubungannya ya. Kenapa? Karena stunting ini dampak dari tidak terpenuhinya gizi kepada setiap keluarga. Dan untuk memenuhi gizi itu kan keluarga butuh ubo rampe kan gitu. Kemampuan secara ekonomi untuk belanja, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, untuk memenuhi gizi keluarga," paparnya.
"Ada duit di keluarga tapi tidak untuk memenuhi gizi, malah untuk beli rokok. Nah keluarga itu belum bisa mengelola uang dengan baik. Jadi turunnya stunting tidak serta merta dan pengaruh langsung pemahaman tentang keuangan tapi secara tidak langsung bisa jadi iya," imbuhnya.
Peran Penyuluh KB
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono mengatakan, melalui tangan penyuluh KB yang sudah dibekali ilmu literasi keuangan oleh OJK, dapat menyebarkannya kepada masyarakat.
"Efektivitas itu bisa kita lihat manakala nanti pemberdayaan masyarakat dalam mengelola keuangan itu menjadi bukti konkret. Kita tidak ingin masyarakat kita terjebak dalam pengelolaan keuangan yang ilegal dan pada akhirnya berdampak pada dirinya sendiri," katanya.

Beny berharap, pemahaman literasi keuangan ini tidak hanya dilakukan pada saat bulan literasi saja. Namun dilanjutkan dengan kegiatan lain agar pemahaman pengelolaan keuangan ini akan terus menjadi baik.
"Kami menyambut baik kegiatan kick-off kolaborasi antara OJK dan BKKBN ini. Harapannya bisa dilanjutkan dengan aktivitas lain agar pemahaman pengelolaan keuangan ini bisa semakin lebih baik," jelasnya.
Fokus Utama ke Masyarakat Pedesaan
Kepala OJK DIY, Eko Yunianto menjelaskan, disasarnya penyuluh KB untuk mendapatkan edukasi soal literasi keuangan ini menjadi upaya untuk menyebar luaskan literasi keuangan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.
"Penyuluh KB ini kan langsung bersentuhan dengan masyarakat ya, yang artinya itu sebagai duta literasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat kita arti pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat," paparnya.

Eko menjelaskan, sebagaimana yang diketahui, saat ini banyak masyarakat yang terjebak dengan investasi ilegal dan pinjaman ilegal.
"Paling tidak dengan adanya kolaborasi ini memberi edukasi dan meminimalisir masyarakat yang terdampak dengan investasi ilegal tersebut. Karena kita lihat survei kemarin, literasi keuangan itu hanya meningkat 1 persen," tandasnya.

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2025, indeks Literasi Keuangan mencapai 66,46 persen, sedangkan indeks Inklusi Keuangan adalah mencapai 80,51 persen.
Artinya sekitar 66 dari 100 penduduk telah memahami manfaat dan risiko dari produk/layanan jasa Keuangan, dan sekitar 80 dari 100 penduduk Indonesia sudah mempunyai akses ke produk/layanan jasa keuangan formal.
"Makanya kolaborasi antara BKKBN dan Pemda DIY ini literasinya semakin meningkat. Gap antara literasi dan inklusi ini semakin kecil," jelas Eko.
"Masyarakat yang mengakses produk jasa keuangan itu harapannya sudah tahu dan sudah paham terkait dengan apa? Manfaat dan resiko dari produk jasa keuangannya yang digunakan itu," pungkasnya.
Baca juga:
- Berkicau soal Istilah Judi Online di X, Warganet Diminta Menghapus Lewat WA