KBR, Jakarta- Upaya untuk memensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dinilai menjadi tanggung jawab negara dalam menuju target iklim yang aman sebagaimana komitmen di Paris Agreement.
Pengacara Publik dari Earthjustice, Jihan Fauziah Hamdi mengatakan komitmen pemerintah untuk segera ‘menyuntik mati’ PLTU cukup logis. Sebab, ada faktor dari segi keuangan negara, kesehatan, hingga teknis ketenagalistrikan.
“Memang sudah masuk akal untuk di pensiunkan beberapa PLTU, belum lagi soal kondisi over supply di Jawa dan Bali. Kita kelebihan kapasitas listrik sebenarnya sampai perkiraan sampai 2029,” ujar Jihan dalam “Diskusi Publik | Udara Kotor, Hak Terenggut: Mendorong Transisi Energi yang Adil dan Terbuka”, Selasa (29/4/2025).
Jihan menjelaskan tiga regulasi yang bisa menjadi rujukan pensiun dini PLTU di Indonesia. Pertama, terkait Peraturan Presiden Nomor 112/2022 yang mengatur tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
“Ini memang dimandatkan oleh Perpres 112, mandatnya sangat jelas menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral pemensiunan dini atau early retirement. Pada saat Perpres ini terbit kita bertanya-tanya dokumen perencanaan sektoralnya akan dalam bentuk apa,” tuturnya.
Jihan melanjutkan soal regulasi kedua terkait Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dituangkan lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 85/2025.
“Ini ada asumsi perencanaan ketenagalistrikan sampai 2030 akan seperti apa dan yang terakhir sebagai gambaran RUKN ini baru terbit di Maret 2025,” ucapnya.
Regulasi ketiga, lanjutnya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/2025 terkait peta jalan atau roadmap transisi energi sektor ketenagalistrikan.

Kriteria PLTU Bisa Dipensiunkan
Jihan mengatakan, kriteria-kriteria PLTU sudah bisa dipensiunkan yang termaktub dalam Perpres 112/2022 yakni berkaitan dengan kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca (GRK), nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan dalam dan luar negeri, serta ketersediaan dukungan teknologi dalam dan luar negeri.
“Ini akumulasi ya di peraturan ini ditulis, jadi secara keseluruhan harus terpenuhi dan menariknya di Permen itu ada bobot. Misal soal kapasitas, seberapa besar kapasitas pembangkitnya misalnya tadi kalau ngomongin Paiton itu sekitar 4 Gigawatt (GW) misalnya,” tutur Jihan.
“Kedua misalnya, soal usia pembangkit berapa lama sebenarnya usia pembangkit Suralaya udah dari 1984 tua banget berarti sudah tua banget. Paiton sendiri dari 1993 terus kalau misalnya kita berangkat ke Sumatra PLTU Ombilin juga sudah tahun 90-an,” imbuhnya.
Jihan menegaskan, ketika PLTU berencana dipensiunkan maka secara otomatis seluruh pembangkit yang ‘dimatikan’ akan beralih ke energi terbarukan.
Sementara itu, berdasarkan Permen ESDM 10/2025, Jihan menyebut ada tiga kriteria tambahan yang bisa menjadi dasar pemensiunan PLTU.
“Keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif listrik, dan juga penerapan aspek transisi berkeadilan. Kira-kira ini kriteria-kriteria yang disusun oleh menteri ESDM,” jelasnya.

Apa Masalah atau Kendala Pensiun Dini PLTU?
Jihan menjelaskan masalah terkait rencana pensiun dini PLTU jika merujuk dari aturan RUKN dan Permen 10/2025 hanya bersifat bersyarat atau hanya dalam kondisi tertentu.
“Kita lihat (RUKN dan Permen) itu bersifat conditional selama ada pendanaan atau tersedia bantuan internasional untuk syarat-syarat lain yang tadi masuk ke Permen. Jadi kalau dilihat dari dua regulasi ini, itu tidak ada yang benar-benar memensiunkan apapun,” ungkapnya.
“Jadi memang tidak menuju ke pemensiunan tapi apa, akhirnya opsi yang dibuat oleh menteri ESDM itu retrofitting PLTU dulu atau diubah teknologinya supaya tidak kotor lalu teknologinya diimplementasikan ke Carbon Capture and Storage (CCS), lalu biomassa hingga hidrogen dan ammonia,” imbuhnya.
Jihan menuturkan, dalam Permen 10/2025 ESDM merujuk ke dalam rencana jangka panjang yang baru seperti sistem CCS, pensiun secara alami atau natural retirement PLTU untuk sektor tertentu hingga perluasan retirement PLTU.
Itu sebab, dia meragukan pensiun dini PLTU benar-benar bisa terwujud secara tuntas.
“Jadi nggak bener-bener ada itu roadmap pemensiunan itu step-nya seperti apa lalu list PLTU yang sudah siap untuk dipensiunkan dalam jangka waktu 3, 5, atau 10 tahun atau di pensiun dini,” ujarnya.
“Jadi hanya ada kriteria tapi tidak menuju ke sana (penisun dini) karena regulasinya sendiri itu bilang sifatnya conditional kalau poin-poin ini tidak terpenuhi mungkin baru ke early retirement (pensiun dini, red),” tambahnya.
Baca juga:
- LBH-YLBHI Ajukan Permohonan Informasi Publik Soal Transparansi 16 PLTU, Ini Rinciannya
Ingatkan Dampak Lingkungan akibat PLTU
Perwakilan LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan mengatakan permohonan informasi publik terkait sejumlah dokumen lingkungan PLTU cukup penting. Sebab, ada keresahan bahwasanya polisi udara menjadi masalah yang belum terselesaikan.
“Sehingga agenda transisi energi ini perlu didorong agar menjadi sebuah kepastian demi menjaga lingkungan hidup menjadi sehat. Kami memandang bahwasanya ada pengalaman-pengalaman teman-teman sebelumnya, soal advokasi kebijakan di PLTU yang itu muncul yurisprudensi dari mahkamah agung bahwasanya dokumen seperti AMDAL, izin lingkungan, itu merupakan dokumen yang wajib dibuka untuk publik sehingga bukan merupakan dokumen yang dikecualikan,” ucap Jauhar dalam “Diskusi Publik | Udara Kotor, Hak Terenggut: Mendorong Transisi Energi yang Adil dan Terbuka”, Selasa (29/4/2025).

Sebelumnya, Akademisi dan Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia LBH-YLBHI se-Jawa mengajukan permohonan informasi publik yang berkaitan dengan 16 PLTU besar kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), 28 April 2025.
Surat permohonan kepada publik yang berkaitan dengan 16 PLTU sangat berdampak besar terhadap lingkungan yang ada di seluruh Jawa.
“Kita ajukan ada beberapa dokumen yang kita ajukan seperti AMDAL terus kemudian laporan tingkat emisi gas buang yang dikeluarkan PLTU setiap detiknya, dan juga Laporan Pelaksanaan Recana Kelayakan Lingkungan Hidup (RPL) dan Rencana Kelayakan Lingkungan Hidup (RKL) sekaligus izin lingkungan,” jelas Jauhar.
“Kami melihat bahwasanya agenda transisi energi tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa ada perlibatan dari masyarakat,” tambahnya.
PLTU Paiton Berdampak kepada Masyarakat
Jauhar menuturkan tingkat kepatuhan pelaku industri energi dalam hal ini PLTU, terhadap komitmen menjaga lingkungan hidup, khususnya di wilayah Jawa Timur. Dia mencontohkan dampak PLTU Paiton terhadap masyarakat sekitar.
“Berdasarkan pengalaman di lapangan khususnya di PLTU Paiton tempat saya banyak beraktivitas di situ, Saya melihat banyak sekali permasalahan lingkungan yang terjadi seperti misalkan kelompok nelayan. Mereka dulu menangkap ikan itu paling nggak dalam semalam itu bisa mendapat banyak hasil tangkapan, namun saat operasinya PLTU mereka butuh waktu yang lebih panjang dan itu tentu akan berdampak,” ungkapnya.
“Kemudian dalam konteks pertanian banyak sekali petani di Paiton itu menemukan adanya debu-debu hitam yang kuat dugaan juga itu berasal dari abu pembakaran batu bara dari PLTU Paiton, sehingga kami melihat penting untuk kami juga mengetahui seberapa jauh sih atau seberapa banyak sih jumlah emisi gas yang dikeluarkan oleh PLTU,” tambahnya.
Jauhar melanjutkan dari aspek lingkungan dinilai juga akan sangat berbahaya bagi masyarakat berkaitan dengan kesehatan.
“Tingkat penyakit di sepanjang PLTU Paiton tinggi namun tidak ada yang berani menyatakan ini faktor soal polusi karena mereka tidak memiliki kewenangan atau kemampuan untuk menilai itu tapi beberapa hal, teman-teman di sana meyakini ini faktor dari operasi PLTU Paiton,” tegasnya.
Apa Syarat dari Menteri ESDM Jika PLTU ingin Pensiun Dini?
Menteri Energi Sumber Daya Mineral ESDM Bahlil Lahadalia menyebut pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bisa dilakukan jika pemerintah mendapat suntikan dana dari lembaga donor.
Menurut Bahlil, proses mematikan pembangkit listrik tenaga uap itu tidak boleh membebani keuangan negara.
"Jadi kita mau mempensiunkan dini, kita hitung dua syarat. Pertama, ada yang membiayai, yang itu secara ekonomi tidak membebankan negara, tidak membebankan PLN, tidak membebankan rakyat. Kalau ada yang membiayai yang murah begini, Alhamdulillah. Bila perlu kita pensiungkan semua, yang penting ada yang membiayai dong," kata Bahlil dalam Konferensi Pers, Senin, (3/2/2025).

"Jangan maksa negara kita mempensiunkan-pensiunkan, abis itu cuma omon-omon, uangnya nggak ada," imbuhnya.
Bahlil mengungkap, pemerintah saat ini baru memiliki rencana mempensiunkan PLTU Cirebon-1. Suntik mati PLTU ini didanai oleh Asian Development Bank (ADB). Dia meyakini pensiun dini PLTU berkapasitas 660 megawatt itu dilakukan 7 tahun lebih cepat.
"Kami lakukan ini karena ada yang biayai. Kita hitung secara ekonomis, memungkinkan," ucapnya.
Bahlil bilang, PLTU Cirebon-1 akan digantikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga rumput laut (PLTR), pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Bahlil mengeklaim, pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan menghasilkan investasi hingga Rp3,2 triliun dengan potensi lapangan kerja hampir 40 ribu.
Baca juga: