KBR, Jakarta - Ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai makin sempit dan tidak bisa lagi menindak dugaan korupsi di tubuh BUMN. Kekhawatiran itu disampaikan pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih, usai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN berlaku 24 Februari 2025.
Dalam beleid itu, direksi dan komisaris perusahaan pelat merah tidak ditempatkan sebagai penyelenggara negara.
Pasal 3X Ayat (1) berbunyi: "Organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara".
Pasal 9G berbunyi: "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara".
Padahal berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) UU KPK, salah satu objek kewenangan lembaga antirasuah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi.
Yenti menduga ada upaya menjadikan BUMN kebal hukum.
"Saya melihat negara ini inkonsisten ya dalam rangka memberantas korupsi. Artinya dalam membuat suatu politik hukum ini tidak memikirkan harmonisasi hukum. Jadi dulu cita-citanya kita ingin memberantas korupsi dengan mendirikan KPK agar KPK itu jangkauannya bisa kepada lembaga-lembaga pengelola keuangan negara. Nah sekarang ini kondisi korupsi sudah parah, kan aneh tiba-tiba kewenangan KPK diberangus seperti ini, terus gunanya KPK apa? Ini pasti ada conflict of interest," ujar Yenti kepada KBR, Selasa (6/5/2025).
Yenti juga menilai pasal dalam UU BUMN itu bertentangan dengan UU KPK.
Selain itu, penghapusan penempatan BUMN bukan sebagai penyelenggara negara dinilai tidak tepat. Menurutnya, direksi BUMN seharusnya dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Sebab, direksi mengelola uang negara dari badan usaha yang dipimpinnya.
"Pekerjaan apapun asal dia bekerja di tempat yang ada keuangan negaranya maka itu dikatakan sebagai penyelenggara negara. Ini kok kesannya ada upaya untuk melindungi BUMN dari perkara korupsi. Ini harusnya KPK itu ditakuti, bukan dilemahkan. Ini menyangkut uang negara, loh, masa kita mau membiarkan mereka menggarong uang negara," katanya.
Yenti mendesak UU BUMN dibatalkan. Ini menjadi penting sebagai bukti nyata dari komitmen pemerintah yang ingin memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
"Cabut itu UU-nya. UU ini tidak melibatkan aspirasi masyarakat, terkesan diburu-buru. Sehingga produk yang dihasilkan ini cacat," imbuhnya.
Harus Cari Celah
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yuris Reza Kurniawan mendorong KPK menyikapi perubahan aturan itu dengan bijak dan cermat.
Jikapun UU itu tetap berlaku, dia yakin KPK masih punya banyak celah untuk menangkap koruptor.
"Artinya kalau kemudian di UU BUMN disebutkan bahwa direksi dan jajaran komisaris bukan termasuk penyelenggaraa negara, dalam konteks UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) itu harus ditinjau. Karena di UU Tipikor pegawai negeri itu juga mencakup orang-orang yang ada di wilayah BUMN maupun BUMD. Ini yang harus dicermati. Implikasinya kalau kemudian ini ditafsirkan secara tidak cermat, tentu akan menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Masih ada celah kok ini buat KPK meringkus," tutur Yuris kepada KBR, Selasa (6/5/2025).
KPK mengatakan tengah mengkaji UU BUMN. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan produk hukum itu perlu dikaji dengan beberapa undang-undang lain seperti KUHAP, Undang-Undang Tipikor, dan Undang-Undang Keuangan Negara.
"KPK saat ini sedang melakukan kajian terkait dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 yang terkait dengan BUMN. Bagaimana kaitannya dengan tugas, fungsi dan kewenangan KPK," ujar Budi di antornya, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meyakini lembaganya masih bisa mengusut direksi dan komisaris BUMN yang tersandung korupsi. Pengusutan itu, kata dia, mengacu pada UU Tipikor.
“Keberadaan UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN itu tidak menghalangi atau tidak melarang aparat penegak hukum (APH) dalam upaya melakukan pemberantasan tipikor, karena tidak ada satu pasal pun dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 yang melarang APH untuk melakukan proses hukum terhadap organ BUMN,” kata Tanak dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025).
"Dapat tidaknya direksi dan komisaris BUMN diproses dalam tipikor, tentunya tergantung pada konteks perbuatannya. Kalau perbuatannya terindikasi sebagai koruptor, tentunya dapat diproses menurut UU Tipikor," tambahnya.
Bantah BUMN Kebal Hukum
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan jajaran direksi dan komisaris BUMN tetap dapat dikenai proses hukum jika terbukti korupsi.
"Setiap pelanggaran hukum terkait tindak pidana, apalagi korupsi, semua aparat penegak hukum tetap boleh. Tetapi memang yang dilakukan sepanjang dilakukan proven, proven terhadap sebuah kebijakan yang diambil. Jadi APH sama sekali tidak dibatasi untuk melakukan itu. Kalau yang namanya korupsi ya siapapun yang terlibat ya pasti dilakukan. Apalagi kalau dilakukan atas itikad buruk," ucapnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).
Senada, Menteri BUMN Erick Thohir berjanji akan menghormati proses hukum dan tidak akan menghalangi penindakan dugaan korupsi yang menyeret anak buahnya.
"Enggak usah ditanya, kalau kasus korupsi mah, ya tetap aja dipenjara. Kalau korupsi, ya korupsi. Enggak ada hubungan dengan penyelenggara negara atau tidak penyelenggara negara. Itu kan jelas," katanya di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2016 hingga 2021, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN dengan 340 tersangka. Dari ratusan tersangka itu, mayoritas berlatar belakang pimpinan menengah di perusahaan BUMN yakni 83 orang. Lainnya, 51 direktur dan 76 karyawan.
Ratusan kasus korupsi di lingkungan BUMN itu merugikan negara hingga Rp 47,9 triliun.
Beberapa kasus kasus korupsi besar yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, antara lain:
- Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina subholding periode 2018-2023. Kejaksaan Agung (Kejagung) memperkirakan skandal dugaan korupsi di PT Pertamina Persero selama 5 tahun telah merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun.
- Korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015-2022, dengan 23 tersangka. Berdasarkan audit BPKP, kerugian negara sebesar Rp332,6 triliun.
- Kasus dugaan korupsi pengelolaan dan penggunaan dana investasi di PT Asuransi Jiwasraya pada periode 2008-2019 yang didakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun.
Baca juga: