Bagikan:

Dinanti, Evaluasi MBG Berbasis Bukti

Masyarakat sipil mendesak evaluasi program Makan Bergizi Gratis untuk menindaklanjuti berbagai temuan masalah

NASIONAL

Selasa, 06 Mei 2025 11:27 WIB

Dinanti, Evaluasi MBG Berbasis Bukti

Seorang pekerja memeriksa mobil angkut Makan Bergizi Gratis di gudang mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dumai, Riau, Senin (28/4/2025). (Ant/Aswaddy)

KBR, Jakarta - Masyarakat sipil mendesak program Makan Bergisi Gratis (MBG) segera dievaluasi. Ini menyusul banyak temuan masalah di lapangan, misalnya kasus keracunan menu MBG yang terjadi di berbagai daerah, di antaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

CEO Center for Indonesia's Strategi Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan, kasus-kasus keracunan sajian MBG merupakan dampak dari buruknya perencanaan dan tata kelola kebijakan.

"Ada yang keracunan, itu jelas adalah ekses dari variasi yang tidak ter-manage. Misalnya, makanannya pakai kotak, kotaknya harus dicuci, ternyata dikembalikannya tidak tepat waktu sehingga tidak sempat dicuci. Atau kedua, bahan makanannya harus dibersihkan dulu sebelum dimasak. Bakteri itu udah jelas karena ada kuman yang bertahan lama tidak dicuci dengan bersih," kata Diah di Ruang Publik KBR, Rabu (30/4/2025).

Mestinya, pemerintah tidak memandang enteng temuan kasus keracunan MBG. Diah membandingkan dengan kasus keracunan yang terjadi di restoran atau warung makan.

"Apabila ada pengunjung yang keracunan, itu mestinya (dianggap kasus) lumayan besar," tutur Diah.

CISDI sudah mengeluarkan dua laporan yakni sebelum MBG dimulai dan tiga bulan setelah diluncurkan, yang mengulas kebijakan dari sektor hulu, termasuk menyoal anggaran, standar keamanan pangan, kandungan gizi, hingga distribusi MBG.

Soal gizi, CISDI juga menyoroti menu makanan yang sarat produk tinggi gula, garam, dan lemak di MBG. Ada juga temuan produk makanan ultra-olahan serta produk susu kemasan berperisa dengan kadar gula tinggi.

Diah mengkritik komunikasi risiko antarpemangku kepentingan yang tidak berjalan. Ia menyayangkan nihilnya kanal pengaduan publik.

"Selain untuk melapor, juga untuk konsultasi. Tanggapan dari masyarakat tidak bisa kita anggap tidak ada, karena akhirnya kebijakan atau apapun program yang berjalan, penerima utamanya adalah masyarakat. Jadi itu yang harus didengarkan dan itu yang harus menjadi dasar perbaikan," ucap Diah.

Temuan masalah

Transparansi dan akuntabilitas program MBG juga dipersoalkan Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM antikorupsi ini melakukan pemantauan pelaksanaan MBG di 36 wilayah sekolah di Jakarta. Eva Nurcahyani, Staf Divisi Riset dan Advokasi ICW mengungkap sulitnya mengakses informasi dan dokumen terkait MBG.

"Kita mencari di media sosial, seperti IG, Tiktok, Youtube yang memang dipublikasikan oleh wali murid dan guru. Karena memang tidak ada data yg konkret atau dokumen-dokumen yang pasti, bahwa ada sekolah-sekolah yang sudah mengimplementasikan," tutur Eva.

Mengapa suatu sekolah dipilih sebagai penerima MBG? ICW tidak mendapat jawaban jelas atas pertanyaan ini.

"Guru atau pihak sekolah tidak diberitahu kenapa akhirnya sekolah ini dipilih jadi bagian dari MBG, kenapa juga sekolah (lain) belum dipilih?" lanjutnya.

Dari sisi distribusi MBG, ada kasus pengiriman yang terlambat sehingga siswa harus menunggu.

"Misalnya di SD, jadwal menerima makanan ada di jam 10-12, tapi terkadang, keterlambatan-keterlambatan itu akhirnya menguras waktu siswa. Karena ada kewajiban agar makanan tersebut habis, ini jadi keluhan wali murid, karena siswa terlambat pulang sekolah," tutur Eva.

ICW juga menyoroti pelibatan militer dalam pelaksanaan MBG. Hal ini menguatkan peran militer di ranah sipil.

"Memang tidak ada intimidasi, tapi secara psikologi, pasti akan mengganggu psikologi siswa," ujar dia.

Minimnya keterbukaan dan pengawasan membuka peluang pemborosan anggaran dan korupsi. Apalagi program MBG menyedot anggaran besar yakni Rp71 triliun pada 2025 dengan target 82,9 juta penerima manfaat.

"Sehingga tidak ada mekanisme kontrol, dan juga akuntabilitas yang memadai, dan ini jadi catatan dan titik rawan, ketika ada isu-isu korupsi dan lain sebagainya," ungkap Eva.

Evaluasi berbasis bukti

CEO CISDI, Diah Saminarsih menekankan evaluasi MBG harus berbasis bukti ilmiah. Pemerintah perlu mendengarkan sebanyak mungkin masukan agar upaya perbaikan MBG mampu memberi manfaat bukan malah membahayakan.

"MBG ini high resource dan diniatkan untuk menjadi program nasional yang high impact. Saat ini sebenarnya kita diuntungkan dengan melihat masalah-masalah yang kalau dibiarkan itu sifatnya nanti akan fatal kepada kelangsungan program," ungkap Diah.

Menurutnya, pemerintah bisa belajar dari Jepang yang sudah 50 tahun lebih awal melaksanakan program semacam MBG. Namun, ada perbedaan dari sisi anggaran dan regulasi.

"Sejak awal memang desentralistik dan sejak awal ada porsi yang dibayar secara independen, jadi tidak 100 persen gratis. Dan perubahannya harus melalui parlemen, jadi tidak sepihak dari eksekutif saja," ujar Diah.

Diah bilang, MBG bisa mencontoh Program Keluarga Harapan (PKH) yang butuh proses beberapa tahun sebelum akhirnya diluncurkan. Desain PKH yang desentralistik atau berjenjang, memungkinkan masalah di hilir direspons cepat.

"PKH butuh waktu setidaknya 5-6 tahun, dari uji coba, dari model-model tata kelola dan operasional ke sesuatu yang bersifat nasional. Jadi ini (MBG) bisa kok di-isolate dulu, dan kemudan kita coba cari langkah-langkah perbaikan dengan cara-cara yang benar," kata Diah.

Eva Nurcahyani, Staf Riset dan Advokasi ICW juga menekankan MBG perlu pembenahan komprehensif agar mencegah pemborosan anggaran dan memaksimalkan kebermanfaatan program.

"Ketika tidak kunjung dibenahi, tentu kepercayaan publik pasti menurun," ujar Eva.

Baca juga:

Ahli Peringatkan Keracunan Massal MBG Tak Boleh Disepelekan

Masalah Terus Berulang, Mungkinkah MBG Dihentikan?

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending