KBR, Yogyakarta- Pemerintah belum menentukan sikap terkait polemik Revisi Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamen Kominfo), Nezar Patria beralasan, draf Revisi UU Penyiaran belum resmi diserahkan ke pemerintah, lantaran masih proses pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Menurutnya, saat ini pihaknya masih dalam proses mengkaji berbagai pandangan dari para pihak terkait.
"Agar clear semuanya, draf yang dibicarakan itu belum diterima oleh Kominfo, masih berada di ranah DPR. Kami tidak bisa memberikan komentar atas kontroversi-kontroversi yang muncul, karena kita sendiri belum terima draf-nya secara resmi, " katanya saat ditemui di Pendopo Parasamya, Kabupaten Sleman, Kamis (16/5/2024) malam.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamen Kominfo), Nezar Patria mengatakan, pemerintah akan menyusun rincian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU Penyiaran, usai draf RUU Penyiaran diserahkan oleh DPR.
"Nanti kita akan buat daftar isian masalahnya. Pada waktu itu kita akan terbuka, diskusi dengan publik, dengan para stakeholder, sehingga draf itu bisa disempurnakan," ujarnya.
Nezar mengungkapkan, pihaknya belum mengetahui secara pasti kapan draf itu akan diserahkan.
"Ya setahu saya drafnya sendiri sudah hampir 4 tahun itu dibahas," ungkapnya.
Baca juga:
Nezar enggan menanggapi lebih jauh terkait salah satu poin yang dianggap bermasalah dalam Pasal 50B Ayat (2) RUU Penyiaran. Pasal itu melarang menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
Meski pemerintah belum menentukan sikap resmi terkait polemik itu, Nezar menilai larangan penyiaran jurnalisme investigasi bukanlah peraturan yang tepat di tengah iklim kebebasan berbicara.
"Jurnalisme investigasi salah satunya bentuk dari jurnalisme yang berkualitas. Salah satu bentuk dari board journalism. Jadi kalau itu tidak boleh tampil rasanya aneh. Jadi kita nanti coba klarifikasi lah apa yang dimaksud dengan tidak bolehnya muncul jurnalisme investigasi.

"Saya kira mungkin ada kesalahan tafsir atau pemahaman karena kayanya tidak mungkin pendapat-pendapat itu muncul di DPR karena kita tahu, kita semua dibesarkan di era reformasi di mana kebebasan berbicara, kebebasan pers jadi salah satu ikon. Jadi saya agak meragukan kalau itu sampai tertera di UU penyiaran, " imbuh Nezar.
Baca juga:
Selain jurnalime investigasi, Pasal 50B Ayat (2) RUU Penyiaran Pers juga melarang penayangan isi siaran dan konten siaran menayangkan hal yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.
Partisipasi Publik
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi komunikasi dan informatika DPR RI, Fadli Zon mengatakan, polemik RUU Penyiaran merupakan bagian dari dinamika berdemokrasi. Politikus Partai Gerindra itu menjamin pembuat Undang-undang akan tetap menghormati prinsip-prinsip jurnalisme.
"Ada kebebasan juga untuk cover both side. Jadi saya kira prinsip-prinsip jurnalisme dan di dalam hal ini juga pers, media tetap akan dihormati. Ini kan bagian dari dinamika yang ada," ungkapnya.
Fadli menyebut, saat ini diskusi tentang RUU penyiaran masih terbuka untuk partisipasi publik, sebelum nantinya disahkan DPR dan pemerintah.
"Namanya RUU kan, sebelum jadi satu keputusan jadi kan masih bisa mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat, " pungkasnya.
Editor: Muthia Kusuma Wardani