KBR, Jakarta– Ketua Lembaga Hikmah dan kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Ridho Al Hamdi menyoroti sikap DPR RI yang lebih mengedepankan pengesahan undang-undang terkait pemerintahan ketimbang yang dibutuhkan masyarakat.
Secara kinerja legislasi, DPR juga dipandang rendah. Pada tahun sidang 2023-2024 ada 47 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari jumlah itu, baru empat yang tuntas, antara lain RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) dan RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Ridho menilai, hal itu terjadi karena anggota-anggota DPR tak lepas dari kepentingan partai politik yang disokong kekuatan modal dari kapitalis. Kondisi tersebut berdampak pada kerja-kerja legislasi yang dilakukan, yakni lebih pro-konglomerat ketimbang rakyat.
“Para anggota DPR yang seharusnya bisa profesional, didominasi oleh kekuatan partai yang biasanya dikontrol oleh kekuatan para kapitalis sehingga kebijakan-kebijakan yang muncul selama periode 2019 hingga hampir selesai ini kebijakan-kebijakan yang lebih mengarah kepada pro terhadap pemilik modal,” ucapnya kepada KBR, Rabu, (15/5/2024).
Ia menyebut, DPR lebih taat kepada kekuatan politik dan konglomerat ketimbang tekanan publik. “Anggota DPR lebih taat pada kekuatan partai dan kekuatan konglomerat ketimbang pressure dari publik. Kita lihatlah berkaca dari pengalaman Omnibus Law Cipta Kerja, kesehatan ataupun UU DKJ termasuk IKN itu kan semua kepentingan konglomerat yang mengabaikan aspek partisipasi publik, kritik tidak berdampak apa pun,” jelasnya.
Ridho berharap di sisa masa jabatan, DPR bisa mengoptimalkan fungsinya untuk mengesahkan RUU yang lebih dekat dengan masyarakat seperti RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) serta RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Bukan malah membahas RUU yang mengundang reaksi publik seperti RUU Penyiaran dan RUU Mahkamah Konstitusi, yang belakangan ini dilakukan.
Baca juga:
Editor: Sindu