KBR68H, Jakarta – Toleransi adalah barang mahal di negeri ini. Sebagai negeri yang kaya akan perbedaan, setiap orang mesti paham soal makna toleransi supaya bisa sama-sama merawat Indonesia yang beragam.
Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya SabangMerauke, sebuah program pertukaran pelajar yang mengajak anak-anak Indonesia belajar soal toleransi dan mengenalkan perbedaan budaya. Penggagasnya adalah sekelompok anak muda yang pernah mempelajari praktik toleransi di sejumlah negara dalam program pertukaran pelajar.
Anak muda tersebut adalah Meiske Yoe, Rey dan Aichiro. Mereka adalah sahabat lama yang kemudian terpisah karena sama-sama bersekolah di luar negeri. Aichiro pernah sekolah di di Belgia, Meiske dan Rey pernah menjadi peserta pertukaran pelajar dan menjadi guru di program Indonesia Mengajar.
Mempraktikkan toleransi
Meiske, Rey dan Aichiro juga pernah merasakan bagaimana menjadi minoritas.
"Karena saya orang Cina, maka dulu ketika ingin sekolah harus menggunakan nama Indonesia. Saya juga sering mendengar orang lain berbicara tentang Cina itu buruk, Kristen itu buruk," ujar Meiske.
Cerita lain didapat dari Aichiro. Ketika sekolah di Belgia, ia menyatakan pada gurunya bahwa ia harus berdoa 5 kali dalam sehari. Karenanya ia membutuhkan waktu-waktu dimana ia harus keluar dari kelas dan melakukan Sholat. Ternyata gurunya mengizinkan.
Beberapakali dia juga merasa tersentuh ketika seorang pendeta mengijinkan Aichro untuk sholat di dalam gereja. Ini terjadi ketika Aichiro sedang menemani kawannya yang sedang punya acara di gereja.
"Pengalaman inilah yang ingin kami bagi. karena toleransi tak bisa diucapkan, hanya bisa dipraktikkan,"ujar Meiske.
Program SabangMerauke
Anak-anak muda ini lantas melahirkan Yayasan Seribu Anak Bangsa yang bergerak untuk program pendidikan untuk anak-anak. Tahun lalu mereka membuat SabangMerauke, sebuah organisasi di bawah yayasan ini yang membuka kesempatan bagi anak-anak di luar Pulau Jawa untuk pergi ke Jakarta. Tentu ini bukan sekadar berwisata atau liburan, karena anak-anak ini akan tergabung dalam semacam program pertukaran budaya.
Di Jakarta mereka tinggal selama dua minggu di rumah sebuah keluarga yang sudah terseleksi oleh tim SabangMerauke. Selama rentang waktu itu pula, anak-anak yang tinggal di rumah “keluarga baru” akan mengikuti kegiatan bersama yang sudah disiapkan panitia.
Kegiatan ini pertama kali berlangsung pada Juli 2013. Saat itu mereka berhasil mempertemukan 10 anak dari luar Pulau Jawa dengan 10 keluarga baru mereka. Untuk kali kedua, pemilihan akan dilakukan tahun ini, tepatnya bulan Juni mendatang.
"Sebenarnya ini bukan ide baru. Idenya dari pertukaran pelajar yang sudah banyak dilakukan di luar negeri. Anak-anak yang terpilih kemudian tinggal dengan anak-anak yang berbeda suku, agama dan kebiasaan. Jadi mereka tak hanya mengikuti kegiatan kami namun juga mempelajari dan beradaptasi dengan sesuatu yang berbeda, keluarga yang berbeda," ujar Meiske.
Selain berinteraksi dengan “keluarga baru” anak-anak ini akan mengikuti berbagai macam kegiatan. Dari situlah anak-anak diharapkan belajar soal Indonesia, toleransi dan pendidikan yang berbeda – sesuai motto SabangMerauke. Anak-anak ini juga mendapat kesempatan istimewa untuk mengenal tempat-tempat penting di Jakarta seperti Tugu Monas, museum dan bertemu tokoh-tokoh pilihan anak-anak.
Di program pertama SabangMerauke tahun lalu, panitia bertanya kepada anak-anak: “Siapa tokoh yang ingin ditemui?”
Ternyata ada dua tokoh yang sangat ingin mereka temui yaitu Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Ariel, penyanyi dari band Noah. Namun karena Jokowi dan Ariel Noah sangat sibuk, anak-anak kemudian dipertemukan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan menonton program Dahsyat di RCTI secara langsung.
Lantas bagaimana interaksi anak-anak di keluarga baru mereka?