Sebuah laporan terbaru tentang Prabowo Subianto dengan Tim Mawar-nya hari ini (27/5) dipublikasikan. Di bawah judul "Melacak Tim Mawar" di laman indoprogress.com, Made Supriatma yang menulis laporan itu menyebut keberadaan tim ini masih banyak dliputi misteri.
Nama Tim Mawar pun kemungkinan dibuat pasca kejadian (ex post facto), dan melibatkan lebih banyak perwira dan prajurit yang tak tersentuh hukum. Tim Mawar adalah nama sebuah tim yang dikaitkan dengan kasus penculikan para aktivis pada 1998. Sebagian aktivis yang diculik itu ada yang dikembalikan, tapi sebagian lain -- jumlahnya 13 orang, tak pernah kembali hingga hari ini.
Made Supriatma, peneliti masalah politik militer yang mukim di Amerika Serikat ini, dalam laporan sepanjang 15 halaman itu juga menemukan fakta baru yang belum banyak diketahui publik. Di antara para perwira dan prajurit Kopassus yang sempat diadili, Made menilai keberadaan Nugroho Sulistyo Budi paling menarik. Dia adalah satu-satunya perwira yang bukan tamatan Akademi Militer (Akmil). Ia belajar ilmu politik di jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1985 dan lulus tahun 1990.
Tidak diketahui apakah Nugroho masuk dinas militer selama menjalani pendidikan di UGM atau setelah lulus kuliah. Juga tidak diketahui bagaimana dia masuk ke dalam Kopassus dengan perjalanan karier yang boleh dibilang mengesankan. Beberapa narasumber yang dihubungi Made mengatakan terkejut ketika mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah perwira militer, dan terlebih lagi perwira Kopassus yang terkait dengan kasus penculikan aktivis.
Ini karena Nugroho lebih dikenal sebagai sebagai penari Jawa yang handal. Sebagian bahkan lebih mengenangnya sebagai ‘Michael Jackson-nya Fisipol’ karena rambut ikal dan kulitnya yang gelap. "Dia memang sangat mirip dengan Michael Jackson, raja musik pop itu," tulis Made.
Beberapa tahun setelah tamat dari UGM, Nugroho terlihat sebagai perwira SGI di Timor Timur. Beberapa orang yang mengenalnya mengatakan bahwa dia ‘sangat berubah’ ketika bertugas di Timor Timur. Organisasi-organisasi dan pengamat HAM memang mencatat bahwa sejak tahun 1991, khususnya sejak peristiwa Santa Cruz, militer Indonesia memakai metode penculikan dan penyiksaan untuk mengontrol gerakan aktivis-aktivis kemerdekaan Timor Timur.
Seperti halnya perwira-perwira lain yang terlibat penculikan, Nugroho pun mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Akhirnya, ia dihukum 36 bulan penjara tanpa pemecatan. Tidak ada catatan ke mana dia setelah menjalani hukuman. Kemungkinan dia tetap berada di Kopassus. Namanya muncul kembali sebagai lulusan Seskoad (Sekolah Staff dan Komando TNI-AD) tahun 2005. Ini berarti dia telah mulai pendidikan setahun sebelumnya. Setelah pendidikan di Seskoad, Nugroho agaknya kembali bertugas sebagai staf intelijen di Kopassus. Namanya muncul sebagi peserta pada Asean Regional Forum (ARF) Conference on Terrorist Use of Internet, di Bali 6-8 November 2008, dan saat itu diketahui kalau dia sudah berpangkat letnan kolonel.
Karier Nugroho semakin menanjak ketika dia diangkat menjadi Komandan Kodim 0733-BS Semarang (4 Sept. 2009 – April 2011). Sekali pun kadang-kadang menjadi sorotan karena masa lalunya, Nugroho dikategorikan berhasil dalam menjalani jabatan sebagai Dandim. Setelah menjadi Dandim, Nugroho dikabarkan bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN), lalu pangkatnya pun naik satu tingkat menjadi kolonel.