KBR, Jakarta – Penolakan dari masyarakat, khususnya di keluarga, membuat para Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dianggap sebagai “sampah” masyarakat. Kondisi ini diperkuat dengan dengan kecenderungan media massa yang hanya menciptakan stereotipe waria sebagai pengamen dan pekerja seks semata.
Ini mengemuka dalam diskusi di Kantor Institut KAPAL Perempuan, Jalan Kalibata Timur, Jumat sore (16/5), untuk memperingati Hari Melawan Homophobia-Transphobia (International Day Against Homophobia-Transphobia/IDAHOT) pada 17 Mei, besok. Diskusi mengusung tema “Stop Diskriminasi terhadap LGBT”.
Pembicara dalam diskusi, Jane Mariam, lulusan psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang menyatakan, konsep diri para LGBT lebih bagus ketika mendapat penerimaan dari keluarga.
“Begitu pentingya keluarga. Tetapi di Indonesia, belum ada penanganan yang tepat dari keluarga pada LBGT. Kita basisnya hanya pada teman, lingkungan, peer group (kelompok bermain, red.). Tapi di luar negeri sudah, bagaimana keluarga (bisa) menerima LGBT itu,” tutur Jane Mariam, yang kini menjadi seorang transeksual.
Hal ini, kata Jane, yang membuat banyak LGBT dibuang dari keluarga sehingga mereka luntang-lantung. Mereka putus sekolah dan tidak punya keahlian.
“Terpaksa dong ngamen, terpaksa bekerja di dunia prostitusi yang mereka tak inginkan. Tidak ada yang mau bekerja di lahan seperti itu. Tapi mereka harus makan,” kata Jane kembali.
Padahal, menurut Jane, jika para LGBT diterima keluarga, mereka akan bisa berdikari dan berprestasi di tengah masyarakat.
Soal ini juga diamini Ricky Muhamad, aktivis LGBT di Suara Kita. Ia mengkritik media massa yang kerap mendiskreditkan LGBT dalam pemberitaan.
“Kasus narkoba yang ditonjolkan pemberitaannya soal pelaku yang lesbian. Kasus mutilasi dikaitan dengan kecenderungan seksualnya pelakunya yang homoseksual,” ujar Ricky.
Pemberitaan ini berdampak pada kondisi sosial pada para LGBT. “Mereka akhrnya tidak mendapat akses pendidikan, akses kesehatan sulit, akhirnya susah hidup layak,” tambah Ricky.
LGBT sebagai Penyakit
Sementara, aktivis dari KAPAL Perempuan, Sofie menegaskan, sulitnya penerimaan keluarga dan masyarakat pada LGBT disebabkan oleh kuatnya budaya patriarki (kekuasaan laki-laki di atas perempuan) dan agama.
“Ini menjadi kendala utama dalam sosialisasi kita di masyarakat. Mereka (LGBT, red.) masih dianggap sebagai penyakit,” tutur Sofie.
Padahal para LGBT, kata Sofie, sama seperti manusia lainnya. Apalagi, Badan Kesehatan PBB (WHO) pada 17 Mei 1990 lalu secara resmi telah mengeluarkan homoseksual, biseksual dan transgender sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan.
Editor: Antonius Eko