KBR, Jakarta – Katanya, perbedaan itu anugerah. Tapi di Indonesia, memiliki orientasi seksual yang berbeda tidaklah mudah.
Sebut saja namanya Sari. Rambutnya pendek, badannya ceking dan ia selalu pakai celana panjang. Ketika melamar sebagai buruh di sebuah pabrik di Jakarta, Sari datang dengan membawa map dan siap mengikuti tes kerja. Di gerbang, ia ditanya oleh satpam,”Kamu laki atau perempuan?”
Saat itu Sari hanya diam. Tambah diam ketika si satpam melanjutkan kalimatnya,”Jangan-jangan kamu pura-pura jadi laki-laki lalu suka sama perempuan?”
Ketika waktu tes kerja tiba, pertanyaan yang sama diulang manajer pabrik,”Kamu laki-laki atau perempuan? Mau melamar sebagai satpam atau apa?”
Sari lantas pulang dengan tangan hampa. Lamarannya ditolak. Pabrik mengharuskan karyawan perempuan tampil seperti perempuan pada umumnya: memakai rok dan rambut tak boleh cepak alias pendek.
(baca juga: Kurikulum Baru Pelajaran Agama Katolik Beri Pemahaman Soal Transgender)
Pindah perusahaan
Sari kembali mencoba peruntungan dua bulan berikutnya. Ia melamar ke pabrik yang lain. Ia datang dengan rambut yang sudah terurai panjang serta memakai rok. Ditambah lagi dengan sepatu berhak tinggi dan sedikit pemulas bibir. Tak ada pertanyaan macam-macam dari manajemen yang mengetesnya. Ia lantas diterima bekerja di pabrik garmen ini.
Begitu diterima kerja, Sari kembali ke dirinya yang ‘asli’. Rambutnya dipangkas pendek, tak pernah lagi pakai sepatu berhak tinggi apalagi pemulas bibir. Banyak teman-teman buruh yang kemudian bertanya soal perubahan penampilannya. Di antara pertanyaan-pertanyaan itu, banyak yang muncul di dalam toilet.
“Mereka curiga kok saya cowok banget. Apakah saya tomboy? Atau saya suka sama cewek?” kata Sari.
“Saya serba salah, selalu serba salah,” katanya pada suatu hari.
Tapi Sari akhirnya memutuskan untuk mengakui orientasi seksualnya secara terbuka.
“Saya harus mengatakan jujur pada kawan-kawan yang lain jika saya memang seorang lesbian dan saya menyukai perempuan. Supaya saya tidak salah menempatkan diri,” jelas Sari. “Karena kami kan suka ke toilet bersama-sama, mereka suka tidur di tempat kos saya bersama-sama. Bukannya saya mau menolak untuk bareng dengan mereka, namun saya tidak bisa karena saya justru menghormati mereka.”
Namun kejujuran membuat Sari justru dikucilkan. Ia tak boleh masuk ke toilet perempuan, ditolak di toilet laki-laki. Banyak hal yang lantas membuatnya merasa tertekan.
“Saya bingung mau cerita sama siapa. Semua orang yang justru saya ceritakan hal ini malah kemudian memanggil saya L. Kalau ketemu, mereka tidak lagi memanggil Sari, namun mereka memanggil saya L yang artinya lesbian. Sakit rasanya.”
(baca juga: Melawan Homofobia dan Transfobia)
Keluarga baru
Sejak itu, Sari mulai mencari dan menemukan sesama teman buruh yang juga lesbian. Mereka pun bernasib sama: dikucilkan.
Demi bisa saling berbagi dan menguatkan, Sari dan teman-temannya membentuk satu kelompok yang bertemu rutin setiap Sabtu malam usai bekerja.
“Ketika dihadapkan pada situasi ini, ada tiga hal yang bisa kita pilih. Kita memilih untuk berni mengakui, untuk bertahan atau yang ketiga untuk menyingkir dari pergaulan,” kata Sari. “Ini tahap yang sulit.”
Menurut Sari, ia sudah menghadapi ketiga tahap ini. Pernah menyingkir dari teman-teman, lantas memutuskan untuk bertahan, baru setelah itu ia berani mengakui. “Alhamdulillah saya menemukan komunitas baru sekarang ini.”
Komunitas inilah yang kemudian menjadi kawan baiknya. Dari pertemuan rutin tiap Sabtu ini, mereka lantas membentuk organisasi yang isinya buruh-buruh pablik dengan orientasi seksual lesbian.
“Selain berorganisasi dan curhat, kami juga sering pergi bersama-sama. Di antara kami tidak ada rahasia. Kami tahu pasangan kami masing-masing juga kesulitan yang kami alami. Kalau kami punya masalah pekerjaan, maka kami ceritakan semua. Kami sudah seperti keluarga.”