Pemusatan kepemilikan media di tangan segelintir pengusaha-politisi berpotensi mengancam independensi ruang redaksi. Gencarnya upaya menjadikan media sebagai alat kampanye dan propaganda para pemilik media yang sedang sibuk berkampanye menjelang pemilu 2014, akan membuat para jurnalis berada dalam posisi yang dirugikan. Jurnalis akan mengalami situasi harus melakukan banyak peliputan yang sesungguhnya tidak terkait dengan kepentingan publik, tetapi lebih didominasi kepentingan pemilik media. Begitu pula dalam proses pengolahan berita di ruang redaksi, besar kemungkinan akan banyak terjadi intervensi agar berita yang disajikan masyarakat “sesuai” dengan kepentingan politik pemilik media.
"Politisasi kian menggila," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Umar Idris dalam rilis yang diterima PortalKBR. Menurut AJI Jakarta, tahun 2013 adalah tahun politik. Setahun lagi, rakyat Indonesia akan menentukan masa depannya melalui pemilu, baik pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilu legislatif. Dalam situasi penuh kompetisi politik ini, seluruh sumber daya maupun sarana yang dimiliki partai maupun tokoh partai akan digunakan secara maksimal. Tidak terkecuali sarana yang sangat rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis, yakni media massa.
Di mata AJI Jakarta, situasi ini akan menjadi malapetaka bagi masa depan dunia pers Indonesia. Pasalnya, industri media selaku pengemban fungsi luhur pers sangat berbeda dengan industri di sektor lain. Industri media adalah pengemban amanat UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu sebagai wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Media hanya akan bisa mengemban amanat luhurnya sepanjang kesucian independensi ruang redaksi senantiasa dijaga.
"Ironisnya, pada saat superioritas para pemilik media semakin keterlaluan bahkan hingga mengancam independensi ruang redaksi, kondisi taraf kesejahteraan hidup jurnalis semakin memprihatinkan," kata Umar Idris.
Kondisi ini tentu tidak kondusif dalam menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Rendahnya kesejahteraan jurnalis akan membuat jurnalis lemah dalam melawan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini juga menjadi kondisi yang sangat berbahaya bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
"Sayangnya, kasus Luviana dan Sekar IFT yang terjadi pada tahun lalu, menunjukkan secara gamblang bahwa ancaman kebebasan berserikat di perusahaan pers masih mengintai," tambah Umar.
Memperingati Hari Buruh 1 Mei, AJI Jakarta secara khusus mengecam para pengusaha media yang mencoba memperalat jaringa media yang dimilikinya untuk kepentingan politik praktis dan mendesak praktik semacam ini segera dihentikan.
AJI Jakarta juga menuntut institusi regulator media seperti Dewan Pers dan KPI sungguh-sungguh mengawasi dan menegakkan aturan hukum dalam hal memantau jalannya pemberitaan sepanjang tahun 2013 hingga usai pemilu 2014 agar bersikap adil, tidak partisan, dan tidak menyimpang dari kepentingan publik yang sesungguhnya. Pengawasan dan penegakan hukum ini harus dilakukan secara cermat agar tidak mengancam kemerdekaan pers.