Bagikan:

Sinyal Prabowo Menimbang-nimbang Hapus Hukuman Mati

Penghapusan hukuman mati seperti yang diutarakan Presiden, perlu diatur dalam undang-undang.

NASIONAL

Jumat, 11 Apr 2025 08:45 WIB

Sinyal Prabowo Menimbang-nimbang Hapus Hukuman Mati

Presiden Prabowo Subianto saat Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Selasa (8/4/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

KBR, Jakarta - Sinyal dari Presiden Prabowo Subianto yang ingin menghapus hukuman mati memantik perdebatan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang, penghapusan hukuman mati seperti yang diutarakan Presiden, perlu diatur dalam undang-undang.

"69 persen penghuni terpidana mati sekarang itu datangnya dari kebijakan narkotika, lalu 89 persen tuntutan dan putusan itu datangnya dari kebijakan narkotika. Nah saat ini sedang ada revisi Undang-Undang Narkotika. Kalau memang Presiden Prabowo benar-benar antipidana mati, maka diproses pembahasan revisi Undang-Undang Narkotika harus dihapuskan pidana mati," kata Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati kepada KBR, Kamis (10/4/2025).

Maidina menyebut saat ini setidaknya ada 110 terpidana mati yang menunggu eksekusi selama lebih dari 10 tahun.

Jika pemerintah dan DPR sepakat menghapus pidana mati, Maidina mendorong agar aturan itu diterapkan segera terhadap ratusan terpidana mati tersebut. Dengan catatan, ada alternatif pidana mati menjadi hukuman seumur hidup.

Sebelumnya saat wawancara dengan tujuh jurnalis di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pekan lalu, Prabowo menyampaikan ketidaksetujuannya atas penerapan hukuman mati bagi koruptor.

"Pada prinsipnya sebenarnya kalau bisa kita tidak hukuman mati. Karena hukuman mati itu final. Padahal mungkin saja kita yakin dia 99,9 persen dia bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau dia di-frame. Kalau hukum mati final. Kita enggak bisa hidupkan dia kembali. Iya kan?," kata Prabowo di rumah pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, Minggu (6/4/2025).

Kepala negara mendorong pemberian hukuman yang tegas, namun bukan pidana mati. Bentuk hukuman alternatifnya bisa berupa penjara seumur hidup.

Baca juga:

Menteri Koordinator bidang Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menerangkan, hukuman alternatif selain pidana mati diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Menurut Yusril, jika jaksa mengajukan tuntutan hukuman mati, wajib disertai alternatif hukuman jenis lain seperti pidana seumur hidup untuk dipertimbangkan majelis hakim.

Yusril memastikan hukuman mati tidak akan dihapus dalam KUHP. Hanya saja, penerapan hukuman mati bersifat khusus dan dijatuhkan secara hati-hati.

Dia mengeklaim pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang Undang (RUU) Pelaksanaan Hukuman Mati. Rancangan ini akan menjadi aturan turunan dari KUHP yang diterapkan pada 2 Januari 2026.

Dalam Pasal 99 dan 100 KUHP baru, mengatur ruang kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun penjara. Bila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden bisa mengubah hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, hukuman seumur hidup tanpa remisi lebih efektif memberikan efek jera dibandingkan hukuman mati.

Menurut Fickar, untuk kejahatan luar biasa seperti pembunuhan, terorisme, atau korupsi besar, pidana mati sejatinya bukan bentuk penghukuman yang substansial.

"Menurut saya sih lebih baik hukuman maksimal itu seumur hidup, tanpa remisi. Kan sama sebenarnya, menunggu orang mati sendiri. Seumur hidup itu dia tidak keluar selamanya, kecuali ada remisi atau perubahan. Perubahan menjadi tertentu. Nah karena itu menurut saya harus ada, kalau pada suatu saat nanti hukuman mati itu dihilangkan, maka hukuman seumur hidup itulah sebenarnya hukuman yang paling efektif untuk penjeraan,” ujar Fickar kepada KBR, Kamis (10/4/2025).

Abdul Fickar menambahkan, hakikat dari hukuman adalah membuat pelaku merasakan akibat dari perbuatannya, bukan mengakhiri hidup.

Dalam konteks itu, pidana seumur hidup tanpa potongan hukuman dan tanpa harapan dibebaskan, justru akan memberikan tekanan psikologis yang jauh lebih berat dan berkepanjangan.

Di lain pihak, bekas penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo mengatakan hukuman mati bisa dijatuhkan kepada koruptor. Hal itu sesuai Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dia berpandangan, wacana penghapusan hukuman mati, khususnya untuk koruptor, tidak terlalu krusial.

"Kemudian sebenarnya kalau misalnya hukuman mati dihapuskan saya pikir itu adalah kebijakan ya politik hukum dari pemerintah. Namun ya kembali lagi bahwa walaupun hukuman mati di dalam belum pernah sampai saat ini ya dalam sejarahnya ada koruptor yang dihukum mati. Ya ketika menghapus hukuman mati sebagai salah satu alternatif pidana korupsi di Indonesia. Maka saya pikir harus ada strategi lain ya dalam memberantas korupsi yang saya pahami saat ini ya belum berhasil secara efisien menekan kasus korupsi," ujar Yudi kepada KBR, Kamis (10/4/2025).

Yudi menyarankan agar koruptor dimiskinkan dengan merampas aset dan hartanya. Sehingga bisa memberi efek jera.

Sebagian kalangan anggota DPR memberi respons atas sinyal Prabowo yang antipidana mati. Namun sebagai lembaga pembentuk undang-undang, belum ada sikap resmi DPR untuk menghapus aturan pidana mati di hukum positif Indonesia.

Ketua Komisi XIII bidang Hak Asasi Manusia di DPR Willy Aditya menilai, cara pandang Presiden yang tidak ingin memberlakukan hukuman mati di Indonesia, termasuk bagi para koruptor, sesuai dengan kondisi dunia saat ini.

Dalam keterangan tertulisnya, Willy menyebut hak hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh negara.

Selain itu, tidak ada satu pun konstitusi di dunia yang membenarkan pencabutan hak hidup warga negara tanpa dasar hukum yang jelas.

Baca juga:

    Kirim pesan ke kami

    Whatsapp
    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

    Kabar Baru Jam 7

    Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

    Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

    Menguji Gagasan Pangan Cawapres

    Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

    Most Popular / Trending