KBR, Jakarta- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong Presiden Prabowo mewujudkan pernyataannya yang tak setuju hukuman mati.
Pernyataan itu sebelumnya disampaikan Prabowo saat wawancara dengan jurnalis senior soal hukuman mati bagi koruptor di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu, (6/4/2025)
Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati meminta pernyataan kepala negara itu diterapkan ke dalam regulasi, semisal lewat revisi Undang-Undang Narkotika.
Sebab, berdasarkan laporan tahunan ICJR tentang pelaksanaan pidana mati di Indonesia, sepanjang 2023, 89 persen tuntutan dan putusan pidana mati berasal dari kebijakan narkotika. Selain itu, 69 persen terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi pidana mati juga berasal dari kebijakan narkotika.
Selain itu, dalam berbagai penelitian ICJR, juga menemukan pelanggaran hak atas peradilan yang adil bagi kasus pidana mati, utamanya kasus narkotika. Klaim penyiksaan terbanyak juga berasal dari kasus narkotika.
Kata dia, bila presiden menyatakan hukuman mati tidak dapat dilaksanakan, karena masih akan selalu ada potensi kesalahan, maka pembahasan revisi UU Narkotika harus menghapus tujuh ancaman pidana mati dalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
“Presiden juga dapat menyegerakan penghapusan pidana mati, dengan mempercepat pengubahan hukuman (komutasi) pidana mati bagi paling tidak 110 orang yang sudah dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun,” jelasnya.
Dekriminalisasi
ICJR turut menyoroti pernyatan Prabowo yang khawatir tentang bahaya narkoba. Menurutnya, kekhawatiran itu perlu dibarengi upaya memperbaiki kebijakan.
“Dengan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika, yaitu menghilangkan respons penghukuman bagi pengguna narkotika,” ujarnya.
ICJR menyerukan presiden harus berkomitmen menghapuskan pidana mati dalam proses revisi Undang-Undang Narkotika dan mendukung dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika.
"Dudukkan kembali bahwa pengguna narkotika harus direspons dengan pendekatan kesehatan, bukan penegakan hukum yang punitif (bertujuan untuk menghukum) yang justru menjadi koruptif," tuturnya.
Maidinia mengaku sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang antipidana mati, sebab hukuman tersebut tidak memberikan ruang koreksi sehingga kalau bisa tidak diterapkan.
“Hal ini adalah pernyataan yang sejalan dengan pandangan ICJR yang menolak segala bentuk pidana mati, dengan salah satu alasannya, bahwa kesalahan proses peradilan akan selalu mungkin terjadi. Untuk itu, ICJR menyerukan pandangan presiden ini harus terejawantahkan pada seluruh kebijakan hukum di Indonesia,” kata Maidina.
Baca juga: