KBR, Yogyakarta - Praktik korupsi di Indonesia terus terjadi. Tak hanya di tingkat pusat, korupsi juga ditemukan di tingkat daerah.
Sedikitnya ada 11 kasus megakorupsi yang masuk dalam daftar. Di antaranya dugaan korupsi di PT Pertamina yang berpotensi merugikan negara Rp968,5 triliun, korupsi di PT Timah Rp300 triliun, dan korupsi di Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyebabkan negara rugi Rp138,44 triliun.
Baru-baru ini juga mencuat dugaan korupsi dana iklan Bank BJB yang merugikan negara Rp222 miliar. Kasus itu menyeret nama bekas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengatakan korupsi di Indonesia tidak bisa lagi ditangani dengan cara-cara konvensional.
Menurutnya, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan langkah mendesak yang harus segera diwujudkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Jadi RUU yang ada sekarang ini saya mendengar katanya illicit enrichment-nya (kekayaan tidak sah atau memperkaya diri sendiri dengan melanggar hukum) sudah hilang. Tapi terlepas dari itu, kalaupun itu dipandang penting saya kira memang penting, karena sudah dimandat dalam undang-undang. Maka perampasan aset ini jadi salah satu cara untuk upaya memberantas korupsi. Karena memberantas korupsi yang sudah parah ini tidak bisa berlaku biasa saja," kata Novel saat ditemui di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (28/4/2025).
Menurut Novel, sebenarnya Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset. Salah satunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Salah satu amanat konvensi tersebut berisi tentang penerapan mekanisme perampasan aset tanpa harus menunggu proses pidana yang berkepanjangan.
"Konvensi UNCAC sudah jelas memberi mandat kepada negara-negara anggotanya untuk memiliki regulasi tentang perampasan aset. Ini bukan sekadar keinginan, tapi sudah menjadi kewajiban hukum internasional kita," ujarnya.
Baca juga:
- Majelis Hakim Jadi Tersangka Korupsi, Bagaimana Memutus Praktik Mafia Peradilan?
- KPK Didesak Periksa Ridwan Kamil di Kasus Korupsi BJB
Diungkapkan Novel, korupsi kerap dilakukan dengan pola yang rumit dan melibatkan upaya penyamaran aset melalui berbagai skema. Tanpa adanya ketentuan illicit enrichment atau kekayaan tidak wajar, negara akan kesulitan melacak aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam atau di luar negeri.
"Kalau benar illicit enrichment dihilangkan, itu langkah mundur. Justru seharusnya ketentuan itu menjadi roh dari perampasan aset. Bagaimana kita bisa membuktikan hasil kejahatan kalau tidak ada mekanisme untuk mengategorikan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya,” ungkapnya.
Novel menilai perlu ada pembatasan penggunaan uang kartal dalam transaksi besar. Sebab uang tunai sering digunakan dalam transaksi suap karena sulit dilacak.
"Suap itu hampir pasti pakai uang tunai. Kalau kita bisa batasi penggunaan uang kartal untuk transaksi di atas jumlah tertentu, maka akan mempersempit ruang gerak koruptor," katanya.
Novel menekankan, pemberantasan korupsi bukan hanya tugas lembaga penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, atau kepolisian. Pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan eksekutif wajib menggerakkan seluruh sektor, termasuk pengawasan internal, untuk berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Karenanya penegak hukum harus bekerja efektif. Namun yang tak kalah penting, mereka juga harus diawasi dan dikritisi," imbuhnya.
Saran untuk Prabowo
Laporan Badan Pusat Statistik mengukur Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2024 hanya berada di angka 3,85 persen. Angka ini menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan pemberantasan korupsi tidak bisa hanya disandarkan pada satu lembaga saja.
"Langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan tingkat korupsi adalah mengesahkan RUU Perampasan Aset," katanya.
Akbar menyayangkan selama ini pelaku korupsi tidak dihukum setimpal dengan kerugian yang ditanggung negara. Aturan hukum yang mengatur tindak pidana korupsi hanya menghitung penerima, pemberi, dan kejelasan tujuan.
"Sedangkan kerugian lainnya tidak dapat dipidana," ungkap Fatahillah.
Sementara Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Yuris Rezha Darmawan menyebut, sebagian besar pelaku korupsi bertindak berdasarkan motif ekonomi. Sehingga harus diberi efek jera yang efektif dengan pemiskinan dan perampasan aset hasil korupsi.
Karenanya, negara perlu memastikan aset-aset tersebut benar-benar dikembalikan menjadi milik negara.
Yuris mengusulkan beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah sebagai alternatif pengampunan koruptor. Pertama, Presiden Prabowo Subianto perlu mendorong aparat penegak hukum untuk mengikuti aliran dana hasil korupsi, bukan hanya fokus pada pemidanaan pelaku.
"Dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara. Hasil korupsi sering kali tidak disimpan dalam bentuk uang tunai, tetapi diwujudkan dalam aset lain seperti investasi atau diatasnamakan orang lain," kata dia.
"Lebih dari itu, setiap perkara korupsi semestinya menyandingkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sayangnya, pendekatan ini belum banyak diterapkan," imbuhnya.
Strategi kedua yakni pentingnya mengoptimalkan penagihan uang pengganti yang telah diputuskan pengadilan. Banyak pelaku korupsi yang divonis membayar uang pengganti, tetapi hingga belum memenuhi kewajibannya.
"Berdasarkan laporan tahunan terakhir Kejaksaan yang saya baca, terdapat puluhan triliun rupiah piutang negara yang belum ditagih. Presiden harus mendorong KPK dan kejaksaan untuk memastikan pelaku korupsi membayar uang pengganti tersebut," tegas Yuris.
Di samping itu, langkah terkait kebijakan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pengesahan RUU Perampasan Aset dengan melacak aset-aset tersebut. Langkah ini akan mempermudah negara untuk merampas hasil kejahatan kemudian selanjutnya dikembalikan sebagai aset negara.
Yuris juga mendesak revisi UU Tipikor segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai illicit enrichment atau kekayaan tidak sah.
"Pasal ini memungkinkan negara memeriksa pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak sesuai dengan penghasilannya. Jika tidak bisa membuktikan asal usul kekayaan tersebut, negara dapat merampasnya," pungkasnya.
Baca juga: