KBR, Jakarta- Pengusutan pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten jalan ditempat. Hal ini ditandai dengan tidak adanya perkembangan kasus bahkan penambahan tersangka dalam kasus pagar laut ini.
Selain itu, adanya perbedaan pendapat antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian dalam melihat pelanggaran hukum juga menjadi salah satu penyebab mandeknya proses penegakan hukum.
Kasus ini mencuat ketika awal Januari 2025, publik dihebohkan dengan temuan pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang.
Penemuan ini bermula dari laporan warga yang juga tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) pada Agustus 2024 lalu. Pagar yang terbuat dari bambu ini diduga dibangun secara ilegal atau tanpa izin resmi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti mengatakan menerima laporan pertama pada 14 Agustus 2024 dari Ketua HNSI Ranting Mauk.
Merespons laporan itu, tim DKP Banten langsung mendatangi lokasi pada 19 Agustus 2024 untuk melakukan pengecekan. Saat itu, panjang pagar baru mencapai sekitar 7 km.
Kemudian pada 4-5 September 2024, Tim DKP bersama Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP dan Polisi Khusus (Polsus) kembali melakukan investigasi.
Hasilnya ditemukan bahwa pemagaran tersebut tidak memiliki rekomendasi atau izin dari pemerintah setempat, baik dari pihak kecamatan maupun desa.
"Saat itu informasi yang kami dapatkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari Camat maupun dari desa dan kemudian belum ada keluhan dari masyarakat terkait pemagaran tersebut," ujar Eli dalam diskusi publik di kantor KKP, Selasa (7/1/2025)..
Akhirnya pada 18 September 2024 Tim DKP Banten pun menginstruksikan agar aktivitas pemagaran laut segera dihentikan.
Baca juga:
- Walhi: Pengusutan Kasus Pagar Laut Tangerang Hanya Menyasar Aktor Bawah
- Temuan Investigasi: Indikasi Pidana dan Pelanggaran Peraturan dalam Kasus Pagar Laut
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti menambahkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2023 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), kawasan yang dipagari ini masuk dalam zonasi yang seharusnya terbuka untuk aktivitas publik.
Setelah ramai menjadi sorotan publik pada awal Januari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memutuskan menyegel pagar misterius sepanjang 30,16 km. Langkah tegas ini diambil menyusul adanya instruksi dari Presiden Prabowo Subianto. Dari sinilah pengusutan perkara dimulai.
Versi Bareskrim
Bareskrim Polri menemukan adanya dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau pemalsuan akta otentik yang menyangkut terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pagar laut perairan Tangerang.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Djuhandani Raharjo Puro mengatakan temuan ini didapatkan Bareskrim melalui hasil pemeriksaan dan gelar perkara pada Selasa, 4 Februari 2025.
Pemeriksaaan itu dilakukan kepada lima orang saksi yang terdiri dari ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Bappeda Kabupaten Tangerang.
"Kami sudah menemukan suatu tindak pidana. Di mana kalau sudah menemukan tindak pidana, kita melaksanakan penyidikan nantinya kami sudah siap dengan upaya paksa pun kami sudah siap. Proses penyelidikan itu fleksibel. Kalau nanti kita bisa mendapatkan keterangan, ataupun alat bukti, atau hasil bisa kita dapatkan tentu saja kita akan segera melaksanakan (tahap selanjutnya)," ujar Djuhandani kepada wartawan, Selasa (4/2/25).
Pada Februari 2025, Bareskrim Polri resmi menahan empat tersangka kasus pemalsuan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah Pagar Laut, Tangerang.
Empat tersangka itu adalah Kepala Desa (Kades) Kohod Arsin, UK selaku Sekretaris Desa (Sekdes) Kohod, serta SP dan CE selaku penerima kuasa.
Para tersangka dijerat Pasal 263 tentang tindak pidana pemalsuan surat dan atau Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Autentik dan atau Pasal 266 KUHP tentang Memasukkan Keterangan Palsu ke Dalam Akta Autentik juncto Pasal 55-56 KUHP tentang keterlibatan dalam kejahatan.
Hingga saat ini tidak ada perkembangan yang signifikan dari kasus pagar laut Tangerang. Bareskrim pun tetap bersikukuh bahwa kasus ini tidak menyangkut tindak pidana korupsi. Kasus ini diyakini hanya sebatas pada pemalsuan dokumen semata.
Versi Kejagung
Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan kasus pemalsuan dokumen pagar laut Tangerang harus menyertakan pasal tindak pidana korupsi. Ketua Tim Peneliti Berkas Jampidum Kejagung, Sunarwan, mengendus ada dugaan korupsi dari tingkat desa hingga kementerian dalam kasus tersebut.
Selain itu, alasan perkara itu masuk dugaan korupsi karena adanya perubahan status kepemilikan.
"Adanya laut yang kemudian berubah statusnya menjadi milik perorangan dan kemudian menjadi milik perusahaan. Sehingga, lepaslah kepemilikan negara atas laut tersebut. Nah itulah yang merupakan titik poin kita kenapa kita menyampaikan bahwa itu ada perbuatan melawan hukum, berubahnya status itu. Kemudian terkait dengan kerugian negara, seperti yang disampaikan di beberapa media, setelah kita pelajari berkas perkara, materi itu ada (kerugian negara),” ucap Sunarwan, di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).

Ketua Tim Peneliti Berkas Jampidum Kejagung, Sunarwan juga menilai penerbitan surat oleh Kades Arsin sebagai perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan negara.
Teranyar pada 14 April 2025, Kejagung bahkan mengembalikan lagi berkas kasus dugaan pemalsuan SHM dan SHGB di wilayah pagar laut Tangerang kepada Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri.
Kejagung menjelaskan alasan pengembalian itu lantaran petunjuk agar kasus ini ditindaklanjuti ke ranah tindak pidana korupsi, belum dipenuhi oleh penyidik Dittipidum Bareskrim Polri.
Padahal sejak Maret 2025, Kejagung telah memberikan instruksi kepada Bareskrim agar turut mengusut dugaan suap atau gratifikasi yang berkaitan dengan korupsi dalam kasus ini.
Ambil Alih Kasus
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai perspektif Bareskrim Polri dalam menangani kasus pagar laut Tangerang terlalu sempit.
Sebab ia meyakini proses pemalsuan surat tanah oleh Kepala Desa Kohod, Arsin bin Asip, dan stafnya berpotensi sarat dengan korupsi, baik itu suap maupun gratifikasi.
"Polisi itu terlalu sempit melihatnya seolah-olah cuman tindak pidana pemalsuan saja. Padahal secara garis besar sudah jelas pengambilan ruang laut secara semena-mena itu adalah tindak pidana korupsi karena itu adalah harta negara. Belum lagi ini kan sudah jelas ada kerusakan alam dan kerugian yang diakibatkan," kata Fickar kepada KBR, Selasa (22/4/2025).
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menilai kesimpulan pihak Bareskrim Polri yang meyakini bahwa tidak ada tindak pidana korupsi yang terjadi dalam perkara pagar laut merupakan sebuah kekeliruan.
Pasalnya, kata dia untuk mengusut tindak pidana korupsi itu tidak harus ada kerugian negara. Kerugian negara hanya satu dari sekian jenis korupsi.
Untuk itu, Fickar mendesak agar Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus pagar laut di Tangerang jika Bareskrim masih tidak mau mengusut dugaan korupsi yang ada.
"Ini Kejagung harus segera ambil alih, supaya pengungkapan kasus bisa melebar dan segera tuntas. Menurut saya Kejagung lebih komprehensif melihat perkaranya. Kalau dia baru pada tingkat dokumen, belum ada secara nyata menguasai lautan ataupun daratan artinya bidang lautan itu mungkin belum bisa masuk ke korupsi. Tapi kan ini sudah digarap, sudah dibikin pagar, udah ada pagarnya ya itu sudah dikuasai, dan merupakan perebutan lahan secara ilegal. Jadi ini sudah ada percobaan korupsi walaupun pagarnya dibongkar," tegasnya.
Tangkap Aktor Pemasang Pagar Laut Tangerang
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KIARA) mendesak aparat penegak hukum segera mengambil sikap tegas dalam mengusut kasus pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan aktor pemagaran laut itu harus segera diungkap dan diberikan sanksi yang tegas. Ia khawatir jika pemerintah dan aparat penegak hukum tidak serius mengusut kasus ini, maka dalang tersebut bisa melarikan diri dan tak bertanggung jawab atas kerugian yang telah disebabkan.
Meski pemerintah telah melakukan pembongkaran pagar laut, namun dia menilai hal itu bukan menjadi satu solusi yang tepat.
"Dibilang serius mungkin masih belum penuh ya. Karena memang untuk siapa pelakunya kan masih misterius ya. Walaupun memang kita mengapresiasi kan enggak boleh sembarangan menuduh pemilik HGB itu belum tentu pelaku pemagaran. Tapi kan ini juga sebenarnya bisa berangkat dari temuan itu kalau memang mereka serius. Jadi APH itu harus terbuka terhadap masyarakat tentang apa dan bagaimana proses hukum itu berjalan, khususnya masyarakat yang harus diberi tahu bagaimana updatenya," ujar Susan kepada KBR, Selasa (22/4/2025).
Susan pun mendorong agar pemerintah tidak terpaku pada Undang-Undang Cipta Kerja dalam upaya untuk menjerat pelaku dan pemilik pagar laut ini. Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pemberian Sanksi
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah memberikan sanksi sebesar Rp48 miliar kepada pelaku pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten.
Dia mengatakan tindak lanjut yang telah dilakukan dalam kasus pagar laut tersebut ini sesuai kewenangan yang berdasarkan pada Permen KP Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pengawasan Ruang laut, dan Permen KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan yang dimiliki oleh KKP.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dan bukti-bukti yang ada, maka telah ditetapkan dua orang sebagai penanggung jawab pembangunan pagar laut. Yaitu saudara A selaku kepala desa dan saudara T selaku perangkat desa. Pelaku telah mengakui dan bertanggung jawab terhadap pemasangan pagar laut, serta bersedia membayar denda administratif sebesar Rp48 miliar sesuai dengan luasan dan ukuran," ujar Trenggono dalam rapat kerja bersama DPR, Kamis (27/2/25).