KBR, Jakarta- Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR) milik tersangka kasus kekerasan seksual, dokter residen Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah Putra pada Kamis, 10 April 2025. Selanjutnya, KKI berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) atas nama yang bersangkutan.
Ketua KKI, drg. Arianti Anaya, MKM, menegaskan pencabutan STR dan SIP merupakan sanksi administratif tertinggi dalam profesi kedokteran.
“Dengan demikian, setelah SIP dicabut, yang bersangkutan tidak dapat lagi berpraktik sebagai dokter seumur hidup,” ucap Arianti dalam keterangan persnya, Jumat, (11/4/2025).
Baca juga:
Arianti mengatakan, tujuan pembenahan ini adalah memperbaiki tata kelola dan pengawasan program pendidikan dokter spesialis, sekaligus memperkuat sistem pencegahan pelanggaran etika dan hukum.
“Evaluasi yang dilakukan diharapkan mampu menghasilkan sistem pengawasan yang lebih ketat, transparan, dan responsif terhadap potensi pelanggaran hukum maupun etika oleh peserta program pendidikan dokter spesialis,” lanjut drg. Arianti.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan menghentikan sementara Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP Hasan Sadikin (RSHS), sebagai bagian dari upaya pembenahan.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono mengatakan, pemerintah akan memberlakukan tes kesehatan jiwa secara ketat bagi seluruh peserta PPDS di Indonesia menggunakan instrumen Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).
“Tadi pencegahannya adalah melakukan tes MMPI, tes mental. Jadi tidak hanya pintar, tapi mereka juga sehat secara jasmani dan rohani supaya bisa melaksanakan tugas dokter yang mulia,” kata Dante, Kamis (10/4).
Langkah pengetatan ini diambil setelah tersangka Priguna membius dan memerkosa FH (21), keluarga pasien, di lantai tujuh RSHS saat korban dalam kondisi tidak sadar pasca-anestesi.

Reformasi sistem
Di lain pihak, praktisi kesehatan dr. Ngabila Salama menilai selain sanksi tegas, reformasi menyeluruh dibutuhkan untuk mencegah kekerasan seksual di dunia medis.
“Langkah pertama tentu penegakan hukum yang tegas. Proses investigasi, pengumpulan bukti, dan penangkapan terhadap pelaku sudah berjalan. Tapi jangan berhenti di situ,” ucap Ngabila kepada KBR, Jumat, (11/4/2025).
Ia menekankan pentingnya pencegahan, sosialisasi aturan secara masif, serta pemulihan dan rehabilitasi bagi korban.
Ngabila juga menyoroti pentingnya pembatasan interaksi dokter dengan pasien atau keluarganya, khususnya dalam situasi rentan seperti pemeriksaan fisik di ruang tertutup.
“Pemeriksaan harus berdasar pada prinsip lex artis, tidak boleh menyimpang ke arah seksual, dan wajib didampingi jika pasien merasa tidak nyaman. Bahkan, pasien atau keluarganya berhak menolak jika merasa tidak aman,” jelasnya.
Ngabila juga menegaskan bahwa persetujuan tindakan medis (informed consent) harus menjadi prosedur wajib, termasuk dalam kondisi pasien tidak sadar.
“Pentingnya lembar informed consent untuk prosedur tindakan kepada pasien, agar SOP ini tidak dilewatkan. Di lembar tersebut berisi langkah/prosedur yang akan dilakukan dan wajib ditandatangani pasien secara tertulis/digital. Jadi jangan sampai pasien asal mengikuti instruksi tenaga medis tanpa mengetahui langkah-langkah yang akan dilakukan, apalagi belum menandatanganinya,” ucapnya.
Baca juga:
"Informed consent juga akan melindungi tenaga medis dan rumah sakit/fasilitas kesehatan sebagai legalitas izin dari pasien/keluarga," sambungnya.
Ngabila menyebut, sistem pelaporan kekerasan harus aman dan mudah diakses.
“Secara medis, bisa dilihat dari kondisi organ tertentu, misalnya adanya luka atau jejak fisik. Tapi lebih penting lagi adalah membangun sistem pengaduan yang aman dan responsif,” ujarnya.
Ia berharap, sanksi terhadap pelaku pelanggaran etik tidak hanya tegas, tetapi juga diimbangi dengan peningkatan literasi masyarakat.
“Tenaga medis yang melanggar etik harus diberi sanksi tegas. Tapi di sisi lain, masyarakat juga harus diberi pemahaman agar tetap percaya pada sistem kesehatan. Jangan sampai satu kasus merusak seluruh kepercayaan publik,” pungkasnya.
Proses hukum
Polda Jawa Barat telah menetapkan Priguna Anugerah Pratama sebagai tersangka, dan menangkapnya pada 23 Maret 2025.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Surawan, menyebut pelaku memiliki fetish terhadap wanita tak sadarkan diri. Polisi akan memeriksa kondisi kejiwaan pelaku. Baru satu korban yang melapor secara resmi.
"Dua korban lagi sudah dilakukan pemeriksaan kemarin. Benar, dua korban ini menerima perlakuan yang sama (oleh) dokter tersangka dengan modus yang sama," kata Surawan, Jumat (11/4/2025).
Polisi menemukan barang bukti berupa obat bius dan kondom di lokasi kejadian. Hasil visum juga menguatkan bukti kekerasan seksual.