KBR, Jakarta- Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi menjadi simbol semangat perempuan dalam membangun bangsa dan mengejar cita-cita di tengah berbagai keterbatasan.
Hari Kartini juga dimanfaatkan sebagai momentum untuk merefleksikan perjuangan perempuan Indonesia dari masa ke masa. Namun hingga saat ini, sudahkah perempuan berjaya dan berdaya? Sudahkah negara benar-benar hadir melindungi kaum perempuan?
Faktanya hingga 2025, kaum perempuan masih dihantui dengan ancaman kekerasan di berbagai sektor. Termasuk dalam lingkup keluarga, lingkungan masyarakat, pendidikan, dan tempat kerja.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 445.502 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan jumlah pelaporan ini meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya. Ia juga menyebut dari aduan yang masuk kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis menjadi jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) sebanyak 330.097 di 2024. Jumlah ini meningkat 14,17 persen dari 2023 yang terdapat 289.111 kasus.
"Saya ingin mengingatkan bahwa jangan khawatir dengan peningkatan pelaporan kasus kekerasan. Karena sesungguhnya itu menunjukkan keberanian korban dan juga akses untuk melaporkan yang lebih dapat diandalkan," kata Andy Yentriyani, Jumat, 7 Maret 2025.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menambahkan berdasarkan data yang masuk, Ibu Rumah Tangga (IRT), pelajar/mahasiswa, serta pekerja/buruh perempuan menjadi kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan.

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT masih jadi kekerasan seksual yang paling banyak terjadi di Indonesia sepanjang 2024. Total di 2024 ada lebih dari 14.000 perempuan yang menjadi korban KDRT.
Menteri PPPA, Arifah Fauzi mengatakan pihaknya mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia juga meminta para korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya tanpa takut terstigma oleh masyarakat.
Dia mengakui kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan serius dan harus segera diatasi.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan tidak bisa kita toleransi lagi. Terlebih kekerasan tersebut terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman dan dilakukan oleh orang terdekat korban," ujarnya.
Negara Gagal Jamin Perlindungan
Aliansi Perempuan Indonesia menilai maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi bentuk dari gagalnya negara dalam melindungi warganya.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih menyebut negara tidak sungguh-sungguh hadir dalam melindungi dan menjamin terpenuhinya hak kaum perempuan, terutama pada buruh dan IRT.
Hal ini kata dia terlihat dari kosongnya payung hukum yang dimiliki oleh negara. Semisal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang semakin mundur. Bahkan nyaris tidak pernah disinggung oleh pemerintah.
"Kita juga capek diperlakukan negara seperti ini, karena digeser terus dengan undang-undang kemauannya. Semisal RUU polri dan RUU TNI. Padahal RUU PPRT masuk prolegnas prioritas loh, tetapi belum ada tanda-tanda akan dibahas. Kami tetap punya harapan bahwa anggota dewan dalam hal ini mereka-mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Karena ini adalah PR besar yang harus segera diselesaikan, mengingat banyak PRT yang menjadi korban kekerasan," ucap Jumisih kepada KBR, Senin (21/4/2025).
Dengan sikap pemerintah yang tidak tegas ini, Jumisih menduga negara sengaja melanggengkan angka prt yang menjadi korban kekerasan hingga berujung meninggal dunia semakin bertambah.
Baca juga:
Kasus Dugaan Pemerkosaan oleh Polisi, RUU KUHAP Harus Hapuskan Tahanan di Kantor Kepolisian
Dokter PPDS Unpad Membius sebelum Memerkosa Keluarga Pasien
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih menambahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga dinilai belum sepenuhnya memadai dalam mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Menurutnya, UU TPKS memerlukan berbagai peraturan pelaksana agar berbagai sarana dan prasarana pemenuhan hak korban dapat optimal dipenuhi.
"Belum cukup ya terlepas ada hukumnya tetapi implementasinya itu belum maksimal. Karena tidak semua kasus itu menjadikan Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sebagai acuan. Jadi itu juga butuh perhatian dari para birokrasi yang mereka membuat kebijakan atau keputusan. Jadi pertanyaannya apakah negara hadir? Ya tentu jawabannya belum ya. Dan karena ini juga banyak kejadian di mana PRT juga tidak mendapatkan upah yang layak, bahkan hanya menjadi korban kekerasan," tegasnya.

Perjuangan Kartini Belum Usai
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Amurwani Dwi Lestariningsih mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan menghapus berbagai bentuk kekerasan yang masih terjadi.
Sebab menurutnya, ketidaksetaraan gender serta kentalnya budaya patriarki menjadi penyumbang utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
"Oleh karena itu di sinilah perlunya kita terus mendorong gagasan Kartini itu bahwa bagaimana kesetaraan itu bisa didapatkan oleh perempuan, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Karena tidak bisa dipungkiri budaya kita saat ini masih kental dengan budaya patriarki. Ini pr bersama, dan KemenPPPA sangat berkomitmen untuk melindungi perempuan. Perempuan harus berdaya dan memiliki skill yang mumpuni," ujar Amur kepada KBR, Senin (21/4/2025).
Amurwani meyakini jika perempuan berdaya, maka kasus kekerasan yang selama ini terjadi bisa diakhiri.