Bagikan:

Angka Bullying Meningkat, Solusinya Akidah Kuat?

Hampir 15 persen pelajar di sekolah dipastikan mengalami perundungan.

NASIONAL

Senin, 28 Apr 2025 17:00 WIB

Author

Ken Fitriani

Angka Bullying Meningkat, Solusinya Akidah Kuat?

Ilustrasi: Stop perundungan atau bullying. Foto: Freepik.com

KBR, Yogyakarta- Kasus bullying atau perundungan meningkat tajam secara nasional. Data 2023, ada 1,478 kasus bullying dilaporkan. Sementara pada 2022, terdapat 266 kasus, 53 kejadian pada 2021, dan 119 peristiwa di 2020.

Bullying atau perundungan adalah salah satu masalah serius yang harus segera ditangani. Sebab, perundungan berdampak negatif pada korban dan bisa terjadi di mana saja, termasuk sekolah.

Data di atas diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Ketua Tim Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Universitas Negeri Yogyakarta, Eva Imania Eliasa mengaku sudah meriset bullying di sejumlah negara.

Di Indonesia, pihaknya menghimpun data dari KPAI dan Komnas HAM. Hasilnya, hampir 15 persen pelajar di sekolah dipastikan mengalami perundungan.

"Karena ternyata di sekolah itu hampir 15 persen sekolah itu pasti mengalami bullying, se Indonesia. Berarti kan pasti mengalami 15 persen. Dan 9 persennya itu dilakukan oleh kakak angkatan kepada adik angkatan," katanya saat ditemui di acara Deklarasi Sekolah Damai di SMK Negeri 3 Yogyakarta, Jumat, (25/4/2025).

Eva mengungkapkan, kebanyakan pelaku perundungan di sekolah adalah siswa laki-laki. Perundungan terhadap sesama siswa terjadi paling banyak di koridor sekolah dan kantin. Hal ini menjadi salah satu faktor sekolah menjadi tidak nyaman.

"Korbannya memang macam-macam, bisa karena adik kelas, kakak angkatan ke adik angkatan itu, atau mungkin ada yang tidak nyaman di dalam kelas itu sendiri. Fenomena ini macam-macam latar belakangnya," ujar Eva.

Faktor

Eva menilai, dari riset yang ia lakukan, kasus perundungan di sekolah disebabkan berbagai faktor. Namun dari datanya, faktor pertama karena balas dendam.

Kemungkinan pelaku perundungan sebelumnya adalah korban yang juga mengalami hal serupa dan ingin balas dendam.

"Kedua itu trauma masa kecil, di mana dia mungkin ketika kecil menjadi korban itu sendiri kemudian terakumulasi ketika ada sebuah kegiatan yang tidak menyenangkan kemudian dia melakukan bullying," jelasnya.

Faktor lain, lanjut Eva, pelaku perundungan ingin menjadi seseorang yang memiliki kekuatan atau pengaruh di kelompoknya. Apalagi mereka adalah kakak tingkat di kelas tertinggi di sekolah tersebut.

"Saya nih kelas 3, saya nih kakak kelas kamu ini, kamu harus tunduk. Jadi, ada sisi power yang ingin ditunjukkan, seperti itu," ungkapnya.

Ketua Tim Riset BRIN–Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Universitas Negeri Yogyakarta, Eva Imania Eliasa, saat ditemui di SMKN 3 Yogyakarta, Jumat, (25/4/2025). (Foto: KBR/Ken).


Deklarasi Sekolah Damai

Eva bilang, data terakhir yang dihimpunnya melalui riset, menunjukkan kasus perundungan banyak terjadi di Pulau Jawa.

Mayoritas terjadinya kekerasan, perundungan justru di sekolah menengah kejuruan (SMK). Meski diakuinya, kekerasan di SMA juga ada, namun untuk sekolah kejuruan memang lebih riskan.

"Nah, muara dari Deklarasi Sekolah Damai ini adalah gerakan masif untuk membuat citra sekolah menjadi positif, citra yang damai, citra yang baik. Memilih sekolah itu siapa saja bisa dan sekolah manapun menjadi sekolah yang damai," jelasnya.

"Harapannya dari sini, kami akan buat literasi, jurnal-jurnal. Kami sebagai periset juga ingin mrmberikan kepada sekolah-sekolah lain, mungkin Yogyakarta seperti ini. Beda lagi dengan sekolah di luar Jawa," ujarnya.

"Kita programnya juga beda. Jadi kita lihat dulu sekolahnya dan programnya seperti apa. Kalau di Yogyakarta, SMK Negeri 3 ini menjadi pilot project-nya," imbuh Eva.

Komitmen

Kepala SMK Negeri 3 Yogyakarta, Widada menambahkan, semua pihak menyadari sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat belajar hidup bersama dalam damai, perbedaan, dan semangat saling menghormati.

Namun, hingga saat ini masih sering terdengar adanya perilaku yang mencederai semangat kebersamaan,seperti perundungan, ujaran kebencian atau sikap tidak menghargai satu sama lain.

"Oleh karena itu, SMKN 3 Yogyakarta berkolaborasi dengan Tim Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional-Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta-Universitas Pendidikan Indonesia Bandung-Universitas Negeri Malang untuk menjadi Model Sekolah Damai untuk Transformasi Budaya Kekerasan menuju Budaya Damai di Sekolah. Kegiatan ini hadir sebagai bentuk komitmen sekolah untuk menciptakan lingkungan sekolah yang lebih harmonis dan nyaman," katanya di kesempatan sama.

"Melalui karya poster, slogan, dan berbagai bentuk ekspresi kreatif lainnya, kita ingin menghidupkan semangat damai di setiap sudut sekolah. Karena kami yakin, kata-kata yang baik akan menciptakan tindakan yang baik. Dan tindakan yang damai akan menciptakan lingkungan yang penuh kasih," katanya.

Widada menjelaskan, Sekolah Damai adalah program yang menerapkan pendekatan pendidikan dengan bertujuan menciptakan lingkungan aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan, baik kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun simbolik.

Siswa SMKN 3 Yogyakarta menandatangani Deklrasi Sekolah Damai dan Gerakan Berbicara Tanpa Kata-Kata Kasar, Jumat, (25/4/2025). (Foto: KBR/Ken).


Kata-Kata Kasar

Sementara, Gerakan Berbicara Tanpa Kata-kata Kasar, lanjut Widada, adalah sebuah upaya sadar dan kolektif, baik secara individu maupun kelompok untuk menghindari penggunaan bahasa yang kasar, menyakitkan, atau merendahkan orang lain, dalam komunikasi sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan.

"Gerakan ini menekankan pentingnya etika komunikasi, kesantunan berbahasa, dan pengendalian emosi dalam menyampaikan pendapat. Dalam konteks pendidikan, gerakan ini sangat penting untuk mendukung terbentuknya lingkungan yang sehat, aman, dan penuh respek," imbuhnya.

"Pernyataan dan Gerakan ini bukan hanya sekedar seremonial saja, tetapi juga momentum untuk menerapkan setiap waktu nilai-nilai kehidupan tentang toleransi, empati dan penghargaan terhadap sesama," ungkap Widada.

Gerakan Sekolah Damai yang diimplementasikan melalui seni budaya di SMK Negeri 3 Yogyakarta, Jumat, (25/4/2025). (Foto: KBR/Ken).


Pengaruh Dunia Digital

Dalam kesempatan berbeda, Psikolog Anak, Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto mengatakan, lingkungan dunia digital berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak dan remaja era sekarang. Menurutnya, era dunia digital ibarat pisau bermata dua, ada sisi positif yang bisa didapatkan anak-anak.

Sebaliknya dari sisi negatifnya, terdapat ancaman child grooming, cyber bullying, pornografi, radikalisme, kekerasan dan hoaks.

Kata dia, untuk menghadapi tantangan ini, pendidikan agama adalah fondasi utama dalam membentuk karakter anak sebagai fokus utama mendidik generasi penerus.

“Kita bertumpu pada akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi kadang akhlak ini yang kurang mendapat perhatian,” tuturnya dalam Safari Ilmu Ramadan (Samudra) bertajuk ‘Menggugat Pola Hidup Anak Zaman Sekarang: Gerakan Pembudayaan Gaya Hidup Islami di Era Kontemporer’, di Masjid Kampus UGM, Selasa, (4/3/2025).

Keteladanan

Tak kalah lebih penting, keteladanan dari orang dewasa juga sangat penting karena anak-anak belajar dari contoh, bukan hanya dari kata-kata.

"Pendampingan anak di lembaga pendidikan juga harus dilakukan dengan cara-cara yang kreatif dan menyenangkan," tuturnya.

Ia menilai, orang tua zaman sekarang bukan eranya lagi menjadi bos atau komandan yang main perintah, tapi penuh nilai-nilai persahabatan seperti berdiskusi dengan anak.

"Bahkan metode pembelajaran yang harus bersifat kreatif, seperti permainan edukatif, cerita inspiratif, dan kegiatan sosial, sangat berpengaruh signifikan dalam membentuk karakter anak secara positif. Belajar yang efektif adalah belajar dalam suasana gembira,” pungkasnya.

Bunuh Diri

Mengutip studi Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia termasuk negara dengan kasus bullying terbanyak kelima di dunia. Dalam sebulan, 41 persen pelajar usia 15 tahun jadi korban kasus bullying di Indonesia.

Sementara data Kementerian Sosial (Kemensos) pada 2015, menyebut 40 persen kasus bunuh diri anak di Indonesia disebabkan perundungan.

Baca juga:

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending