KBR, Jakarta- LSM lingkungan WALHI meminta sejumlah pihak berhenti menyalahkan demonstrasi petani Kendeng, Jawa Tengah, atas menurunnya saham PT Semen Indonesia yang membuka pabriknya di daerah tersebut. Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan turunnya saham adalah akibat pemerintah yang menerbitkan izin lingkungan tanpa memperhatikan unsur kehati-hatian. Sehingga resiko investasi itu merupakan buatan pemerintah sendiri.
Baca juga:
- Karst Kendeng, Ahli Geologi Desak Fokus Pada Gua Bawah Tanah
- Jadi Komut Semen Indonesia, Ini yang akan Dilakukan Sutiyoso
"(Itu karena) Tata kelola pemerintahan yang jelek. Terus yang kedua, image pemerintah kita yang tidak patuh pada hukum. Itu yang dilihat oleh (pemberi) investasi," terangnya usai diskusi di Jakarta, Rabu (5/4/2017) sore.
"Tata kelola di Indonesia sangat jelek. Kalau mereka memiliki izin, izin itu sesungguhnya hanya memenuhi syarat administratif," tambahnya.
Saham PT Semen Indonesia (SMGR), Kamis (30/3/2017) pagi pekan lalu, sempat turun 75 poin ke level 9.000. Jika dihitung setahun, menurut pantauan Bloomberg, saham SMGR sudah turun 8,04 persen.
Sejumlah pihak menganggap penolakan warga Kendeng atas pabrik semen sebagai penyebab jatuhnya saham perusahaan tersebut. Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia, Danang Girindrawardana, mengklaim kasus ini menghambat 20-25 persen investor asing di bidang infrastruktur - yakni semen, baja, dan telekomunikasi. Sementara Anggota Komisi bidang Industri DPR, Bowo Sidik Pangarso, berpendapat jika pabrik ditutup maka negara akan rugi Rp 4,9 triliun.
- Surat dari Warga Penolak Pabrik Semen untuk Gubernur Ganjar
- Surat Rakyat Kendeng untuk Presiden Jokowi
Meski begitu, menurut Zenzi, pemerintah tidak bisa hanya menghitung keuntungan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan. Pihaknya mencatat ada kerugian 46 triliun pertahun jika Cekuangan Air Tanah (CAT) Watuputih Kendeng, yang satu mata airnya menghasilkan 600 liter air per detik, terkena dampak penambangan.
"Kesalahan terbesar negara kita, sesuatu baru akan dinilai secara ekonomi kalau dikeluarkan uang atas itu," pungkasnya.
Editor: Dimas Rizky