KBR, Jakarta- Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Logan Siagian menyebut, kasus kematian terduga teroris Siyono bisa berujung ke tindak pidana. Hal itu bisa dilakukan apabila dari hasil pengusutan yang dilakukan kepolisian, ditemukan adanya pelanggaran berupa penganiayaan.
Sebab menurut standar operasional yang dimiliki, Densus hanya bisa memborgol dan tidak melakukan segala bentuk kekerasan kepada terduga teroris. Tapi kata dia, proses itu baru akan diketahui setelah sidang etik rampung.
"Sidang kode etik ini nanti bisa berlanjut. Apakah hanya sebatas hukuman etik, atau kalau memang dua anggota densus yang menangkap dan membawa ini terindikasi melanggar pidana, seperti penganiayaan, itu bisa disidangkan secara pidana dan akan disidik oleh penyidik. Karena sekarang ini, Polri kan tunduk pada peradilan umum," katanya.
Kesulitan Densus
Sebagian anggota DPR mengabaikan aduan Komnas HAM dan organisasi masyarakat lainnya mengenai pelanggaran yang dilakukan Densus 88 Anti Teror dalam kasus Siyono. Saat pandangan fraksi, perwakilan fraksi PDIP Herman Herry mengatakan masyarakat semestinya juga memahami masalah yang dihadapi Densus 88 di lapangan.
Ia memaparkan bagaimana Densus 88 melakukan operasi dengan biaya minim, harus meninggalkan keluarga berbulan-bulan, serta resiko lainnya. Politisi PDIP ini bahkan memaklumi pelanggaran prosedur yang dilakukan Densus 88.
"Banyak orang lupa mereka juga manusia biasa. Ketika mereka jadi korban, polisi jadi korban anggota Densus meninggal karena ditembak, itu tidak dipersoalkan. Sementara satu kesalahan prosedur, bahwa anggota Densus melanggar, ribut satu Indonesia," ujar Herman dalam rapat dengan Kapolri, Rabu (20/4/2016).
Pada rapat kerja dengan Komisi Hukum hari ini, Kapolri Badrodin Haiti menjelaskan status Siyono sebagai bagian dari Jaringan Islamiyah baru. Berdasarkan keterangan dia, Siyono disebut sebagai Panglima Askari.
Fraksi PDIP justru mendorong Polri memperkuat Densus 88. Kapolri sebelumnya telah mengajukan tambahan anggaran sebesar 1,3 triliun untuk Densus. Menurut Badrodin penambahan itu untuk penambahan alat dan belanja operasional.
Menyepakati apa yang disampaikan PDIP, fraksi Golkar, Gerindra, dan Demokrat pun melihat laporan Komnas HAM kemarin terlalu memojokkan kepolisian. Perwakilan dari Gerindra, Wenny Warrouw mengatakan Kapolri harus membuka status Siyono ke publik.
"Saya harap Kapolri drive ini di permukaan. Supaya mereka tahu siapa Siyono ini. Jangan sampai menyurutkan semangat Kapolri memberantas teroris."
Sebelumnya PP Muhammadiyah bersama tim forensik dan Komnas HAM telah mengumumkan
hasil otopsi jenazah terduga teroris Siyono di Kantor Komnas HAM.
Komisioner Komnas HAM Siane Indriani menyebutkan, sejumlah fakta hasil
otopsi yang telah dilakukan. Pertama, otopsi ini menekankan temuan
sementara bahwa jenazah Siyono belum pernah diotopsi sebelumnya.
Adapun fakta berikutnya adalah kematian Siyono yang diakibatkan benda
tumpul yang dibenturkan ke bagian rongga dada. Kondisi tulang dada
Siyono juga dalam kondisi patah dan ke arah jantung. Luka itu yang
menyebabkan kematian fatal.
DPR Labil
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar menganggap
Komisi Hukum DPR labil dalam menyikapi kematian terduga teroris Siyono.
Hal ini merujuk terhadap sikap beberapa Anggota Komisi Hukum DPR pasca
kedatangan Kepala Kepolisian Indonesia Badrodin Haiti.
Sebelum kedatangan Badro, Komisi Hukum DPR menyatakan dukungannya apa
yang dilakukan oleh Komnas HAM, PP Muhammadiyah, dan juga LSM HAM
Kontras untuk mengautopsi jenazah Siyono. Tapi, sikap itu mendadak
hilang saat Badrodin memaparkan kejadian tersebut menurut versi
kepolisian.
"Sebelumnya, orang-orang di Komisi III sempat mendukung apa yang
dilakukan oleh Komnas HAM, Kontras dan PP Muhammadiyah. Lalu sekarang,
setelah kehadiran Kapolri di sana, mereka malah menyangsikan. Terus
terang sejak awal kami memang sudah pesimistis dengan sikap Komisi III
DPR. Jadi kami sudah tidak aneh lagi, sebab itu memang sudah watak
mereka. Kami sudah memaparkan fakta secara ilmiah, jadi seharusnya
penegakkan hukum bisa ditegakkan setegak-tegaknya," ujarnya.
Editor: Rony Sitanggang