KBR, Jakarta- Korban dan pelaku tragedi 1965 banyak yang menderita depresi dan gangguan stres pasca trauma atau PTSD (Post-traumatic stress disorder). Dalam Simposium Nasional Tragedi 65, Psikiater dari Yogjakarta, Mahar Agusno yang bertugas di wilayah basis Partai Komunis Indonesia (PKI) menceritakan bagaimana dia menemukan beberapa korban dan pelaku dalam kondisi mengkhawatirkan dan butuh bantuan.
“Kami menemukan kasus korban, kami dapatkan di panti asuhan Bantul jogjakarta. Waktu itu kami bekerja dengan pengungsi dari timor timor,” kata Agusno. "Namanya Budi. Dia merupakan anak dari lelaki yang ditahan di Pulau Buru. Budi merupakan generasi kedua yang sama seperti Bapaknya mendapatkan penyiksaan dari aparat setempat."
Budi, kata Agusno sempat dirawat, diasramakan dan disekolahkan. Namun, karena tingkat traumatisnya tinggi, kehidupan Budi masih sulit. “Sehingga dia ingin balas dendam, akan membikin bom dan meledakan, kepada siapapun. Kami terapi, kami sekolahkan dan carikan asrama. Kami mengikuti. Tapi sampai sekarang anak ini sulit sekali. Karena tingkat traumatisnya,”tambah Agusno.
Agusno juga menemukan seorang tentara yang menjadi pelaku penembakan dalam tragedi 65. Dia menderita stroke, dan Gangguan Stres Pasca Trauma atau PTSD. Bahkan, sang tentara sering bermimpi bersama orang-orang yang dibunuhnya.
“Dalam mimpi bermain sepakbola dengan orang yang dibunuhnya,”kata Agusno.
Agusno menilai penderitaan pelaku mungkin saja lebih berat dari korban.
“Pelaku juga tersiksa melebihi korban,” kata Agusno. Ujarnya, semakin tua, super egonya semakin kuat. Pelaku yang depresi semakin merasa berdosa. Bahkan ketika Agusno mewawancarai salah satu pelaku, dia berujar. ”Dokter, kalau saya meminta maaf, apakah saya akan membaik?”
Agusno menceritakan kembali, bagaimana pertemuannya dengan beberapa korban dan pelaku saat dia mendapatkan tugas dari LPSK pada 2014. Kata dia, banyak dari mereka yang ketakutan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Mereka takut rekayasa yang akan membalikan keadaan kepada mereka,”ujar Agusno.
Sebagian besar korban belum mendapat pendampingan. Banyak dari mereka yang menunjukan gejala kejiwaan yang meningkat dan mereda. “Meningkat setiap kali mendapatkan kesulitan hidup dan ekonomi,” kata Agusno.
Korban maupun pelaku perlu direhabilitasi. Jangan sampai, kata Agusno generasi penerus mereka juga kehilangan masa depan yang sama dengan kedua orang tuanya. Kata Agusno, pemerintah harus memberikan kecukupan kebutuhan dasarnya dan rasa aman. Karena, kata Agusno traumatis dan depresi bisa diwariskan.
“Masalah ini perlu mendapatkan penanganan yang sebaik-baiknya. Karena inividu yang traumatis dan depresi akan membentuk masyarkat yang serupa, dan ini akan diwariskan kepada anak cucunya,”
Editor: Rony Sitanggang