KBR, Jakarta – Redaksi Dakwatuna bakal mempertimbangkan upaya hukum terkait pemblokiran puluhan situs yang dianggap radikal.
Namun Pimpinan Redaksi Dakwatuna Syaiful Bahri mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan pula bagi pihaknya untuk melakukan mediasi dengan pemerintah terkait penyelesaian kasus ini. Hingga kini, Syaiful masih mempertanyakan dan meminta penjelasan langsung dari pemerintah soal alasan pemblokiran situsnya.
“Sampai saat ini juga masih menjadi kajian kami, termasuk kami sudah menghubungi beberapa pengacara untuk meninjau dari sisi hukumnya seperti apa. Apakah ada pelanggaran hukum atau seperti apa,” jelas Syaiful kepada KBR, Senin (6/4/2015).
“Tapi juga tidak menutup ruang untuk mediasi dan komunikasi dengan instansi terkait, menyelesaikan ini dengan baik-baik. Kami ini diblokir, tapi kami malah tahunya dari orang lain. Kalau bahasa kasarnya, kami dianggap bersalah tapi tahunya dari orang lain, bukan diberitahukan, ini lho konten Anda ada kesalahan ini,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir 19 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal dan terorisme atau mengarah pada simpatisan radikal.
Pemblokiran ini bermula dari laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT. Lembaga ini melaporkan 22 situs yang dianggap bermuatan radikal. Namun Kepala BNPT Saud Usman Nasution tidak mau disalahkan atas pemblokiran tersebut.
Kata dia, lembaganya hanya bertugas melaporkan situs yang mengancam keamanan dengan menyebarluaskan propaganda kebencian. Sementara kewajiban memberitahukan pemilik situs untuk menghapus muatan radikal tersebut, menjadi ranah Kemenkominfo.
Editor: Antonius Eko