KBR, Jakarta – Pemerintah dinilai tidak tanggap dalam melakukan pemantauan berkala kasus-kasus baru yang dialami buruh migran Indonesia di negara penempatannya. Hal tersebut, kata Ketua Migrant Care, Anis Hidayah, yang menyebabkan terlambatnya bantuan hukum yang diberikan pemerintah Indonesia.
Anis menyebut, setidaknya ada tiga hal utama yang harus diperbaiki pemerintah terkait pembelaan WNI yang terancam hukuman mati. Antara lain soal monitoring kasus buruh migran Indonesia, jumlah pengacara yang memberikan bantuan hukum dan persepsi pemerintah terhadap buruh migran yang terancam hukuman mati.
“Masih tahunya terlambat, sehingga terlambat juga dalam memberikan bantuan hukum. Karena dalam beberapa kasus, memang negara di mana buruh migrant kita terancam hukuman mati memang tidak memberitahukan kasus itu. Sementara pemerintah Indonesia pasif melakukan monitoring terhadap penjara-penjara untuk mengetahui adakah kasus baru atau tidak,” papar Anis kepada KBR, Kamis (16/4/2015).
“Yang kedua, ada problem di tingkat pembelaan itu sendiri. Lawyer-lawyer yang disewa itu kan memang kita punya lawyer tetap, tapi dengan beban buruh migrant kita yang banyak sekali terancam hukuman mati tentu kurang maksimal memberikan pembelaan.”
Anis Hidayah menambahkan, saat ini pemerintah masih menganggap buruh migran yang terancam hukuman mati adalah pelaku kriminal. Itu pula yang menyebabkan bantuan hukum Indonesia hanya setengah hati.
Migrant Care mencatat, sebanyak 290 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati, 59 di antaranya sudah vonis tetap.
Selasa (14/4/2015) lalu, buruh migran Indonesia Siti Zaenab dihukum mati oleh pemerintah Arab Saudi. Dia dihukum lantaran terlibat kasus pembunuhan terhadap majikannya. Pemerintah Indonesia mengecam hukuman mati itu. Sebab, tidak ada pemberitahuan mengenai pelaksanaan hukuman mati tersebut.
Editor: Antonius Eko