KBR68H, Jakarta – Hanya 2 Presiden di Indonesia yang mampu menjaga keberagaman di Indonesia. Pertama yaitu, Presiden Soekarno dan yang kedua adalah Presiden Abdurrahman Wahid. Sedangkan presiden yang dianggap paling gagal menjaga keberagaman di Indonesia adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasil tersebut dikeluarkan Lingkaran Survey Indonesia dan Yayasan Denny JA dalam sebuah penelitian yang dilakukan di 33 provinsi, Selasa (22/4). Survey tersebut sekaligus dilakukan untuk mengetahui ciri-ciri Calon Presiden (Capres) yang diinginkan publik.
Dalam survey disimpulkan bahwa publik menginginkan Capres yang melindungi keragaman dan berani menindak tegas perilaku intoleran di Indonesia.
Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Alex Junaedi menyatakan bahwa survey LSI tersebut dengan sendirinya mengkonfirmasi kasus-kasus intoleransi yang ditangani Sejuk dan Aliansi Kebhinnekaan selama ini.
Data yang dikumpulkan Sejuk menyimpulkan bahwa Presiden SBY tidak pernah melakukan langkah nyata untuk menindak perilaku intoleran di Indonesia.
“Survey LSI berarti mengkorfirmasi data yang kami kumpulkan. SBY menurut kami memang tidak pernah menangani perilaku intoleran. Berbagai kekerasan atas nama agama di Indonesia memang paling banyak terjadi di masa pemerinthan SBY. Kelompok intoleran justru dibiarkan tumbuh subur di masa pemerintahan SBY. Jadi wajar jika masyarakat tak percaya bahwa SBY bisa menangani persoalan intoleransi di Indonesia.” Ungkap Alex yang dihubungi KBR68H, Rabu (23/4).
Maka kriteria Capres menurut Sejuk adalah Capres yang mempunyai komitmen tinggi terhadap keragaman dan berani bertindak tegas pada kekerasan atas nama agama.
Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar menyatakan bahwa survey yang dilakukan LSI tersebut dilatarbelakangi pada komitmen presiden yang biasanya hanya mau menyelesaikan persoalan politik dan ekonomi, namun tidak mau menyelesaikan persoalan sosial seperti kekerasan atas nama agama, etnis, status sosial, gender dan orientasi seksual. Maka survey dilakukan selain melihat jejak para presiden di Indonesia juga ingin melihat kriteria Capres yang diinginkan masyarakat.
“Yang ada di Indonesia kebanyakan presiden hanya menyelesaikan persoalan politik dan ekonomi, namun kita selalu melihat ada kamisan para korban HAM di depan istana yang sudah bertahun-tahun mencari keadilan, ada warga gereja yang setiap minggu berdoa di depan istana karena mereka tidak boleh membangun gereja, korban-korban atas nama agama yang terus bertambah dan dibiarkan,” ungkap Novriantoni, Rabu (23/4).
Hasil survey juga menyebutkan bahwa 87,60 persen masyarakat menilai sangat penting memilih seorang Capres yang mampu menjaga keberagaman agama, etnis dan ideologi di Indonesia.
Novriantoni menambahkan bahwa survey memaparkan bagaimana masyarakat membutuhkan Capres yang tak membiarkan konflik atas nama agama yang selalu terjadi, melindungi para korban konflik dan menindak pelaku diskriminasi atas nama agama di Indonesia.
Editor: Luviana