KBR68H, Jakarta - Ratna Dumila tak pernah mengira putrinya, Rameyza Alya Hakim menyandang autisme. Tapi ia mengaku curiga karena perkembangan komunikasi anaknya yang berbeda dengan teman-teman seumurannya di satu komplek.
Di saat anak lain sudah bisa berbicara dan berinteraksi, Alya cenderung lebih tertutup. Beberapa teman berusaha membesarkan hati Ratna dan menyebut masalah itu hal yang biasa.
“Mereka bilang tidak masalah, kadang ada anak kecil yang bisa ngomongnya duluan, atau jalannya bisa duluan. Tapi kok telatnya agak jauh. Kalau anak umur dua atau tiga tahun kan komunikasinya sudah mulai banyak. Sudah bisa cerita atau minta susu, tapi Alya tidak. Setelah diperiksa, ternyata ada spektrum autis,” kata presenter berita televisi swasta itu.
Saat itu anaknya berusia 2 tahun. Ratna mengaku kaget tapi belum terlalu khawatir, lantaran ia belum paham betul apa itu autisme. Dia disarankan membawa Alya ke ahli terapi. Saat Alya menjalani terapi itulah, Ratna baru sadar bahwa membesarkan individu autistik tidak sesederhana yang dibayangkan. (baca: Lentera Asa, Sekolah untuk Remaja Penyandang Autistik)
“Saya mengira terapi itu seperti les. Tapi ternyata menjelaskan satu konsep yang sederhana pada Alya itu susah. Sejak saat itulah saya sadar austis itu tidak sesimpel yang dikira. PR-nya agak berat. Saat itulah terasa shocknya,” tambah Ratna.
Alya harus menjalani terapi sensori integrasi dan terapi okupasi. Terapi sensori diperlukan agar Anaknya bisa lebih fokus dan belajar gerakan motorik. Saat terapi sensori, Alya harus berjalan di papan atau jembatan kecil untuk belajar konsentrasi. Sedang terapi okupasi untuk menyiapkan dia sebelum belajar menulis.
Berbagi cerita
Ratna berusaha memahami apa itu autisme lewat buku. Hanya saja ada beberapa buku yang terjemahan dari luar negeri sehingga susah dimengerti. Ratna lebih banyak mendapat pengetahuan setelah diskusi dengan ahli terapi dan orangtua yang anaknya juga autis.
Kehadiran dan masukan dari mereka bisa membuat Ratna tenang. Dia mengaku sempat panik saat mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium pada darah dan rambut Alya yang harus dijalani setahun sekali. Pemeriksaan rambut dilakukan untuk mengetahui dia terkontaminasi logam apa saja. Sedangkan pemeriksaan darah untuk melihat jenis makanan yang bisa membuatnya alergi.
“Setelah periksa kok keracunan timbal dan alumunium tinggi. Setahun lagi periksa keracunannya makin tinggi, panik lagi padahal dia sudah diet. Autis tak boleh makan telur, tepung atau minum susu,” kata Ratna
Dalam tepung terigu terdapat protein bernama glutein. Di dalam tubuh anak non-autistik, glutein bisa dipecah jadi asam amino. Namun glutein di tubuh individu autistik tidak bisa dipecah menjadi asam amino melainkan jadi peptida yang dapat menembus ke dinding usus lalu mengalir dalam darah. Ketika mengalir, peptida mampir ke otak. Jika otak bertemu peptida, maka peptida berdampak seperti morfin di tubuh anak autis sehingga anak akan menjadi hiperaktif.
Setelah mendapat masukkan dari banyak teman, Ratna bisa lebih tenang. Dia diminta jangan terlalu panik dengan hal-hal yang berbau medis. Selama terapinya berjalan dengan baik hasilnya bakal baik juga. Nasihat itulah yang dipegangnya kuat-kuat.
Roller coaster
“Mood-nya orangtua yang memiliki anak austis itu seperti naik roller coaster,” kata Ratna. Saat perkembangan anak sedang maju rasa percaya diri langsung meningkat. Tapi saat kemajuan Alya terhambat, sudah diterapi berbulan-bulan tapi tak mengerti juga, biasanya Ratna langsung down.
“Beban akan bertambah kalau Alya sedang sakit. Saya tak sadar tanya sakitnya di mana. Karena Alya sampai sekarang belum bisa berbicara, dia hanya bisa menangis. Akibatnya, kalau ke rumah sakit pasti dibawanya ke UGD,” tuturnya.
Sebagai seorang ibu, perasaan sensitif kadang muncul. Ratna mengaku pernah menangis ketika melihat anak-anak temannya, yang usianya mungkin tak beda jauh dengan Alya, sudah bisa berinteraksi dengan ibunya.
“Nangisnya itu bukan berarti kita menyesali anak kita seperti itu, tapi karena ingat Alya yang ada di rumah. Kadang berpikir, kapan anakku bisa seperti itu,” katanya lirih.
Kadang emosi juga muncul, tapi setelah itu menyesal karena telah memarahi Alya.
“Dulu waktu masih belum paham, dia suka tiba-tiba buang air kecil. Aduh Alya kan sudah diajarin kalau pipis di kamar mandi. Pernah juga pup (buang air besar) tidak di kamar mandi. Waktu itu kita lagi tidur, tiba-tiba dia pup. Kok, ada bau ya. Ternyata semua dinding di kamar sudah oles-oles sama pupnya dia. Tapi setelah itu saya sadar bahwa dia anak yang spesial.”
(baca juga: Ini Yang Perlu Anda Ketahui soal Kurikulum Belajar Remaja Autis)
Kini Ratna mengaku sudah tak terlalu stres karena perkembangan anaknya sangat positif. Terapinya juga diperbanyak menjadi lima kali dalam seminggu. Sekali terapi berlangsung dua jam.
Harapan itu selalu ada
Januari lalu, Alya berulang tahun yang kelima dan mulai masuk ke TK. Awalnya ada yang menyarankan anaknya tak usah disekolahkan, cukup diterapi saja. Namun, ada juga yang menyebut sekolah diperlukan untuk membantu proses belajar bersosialisasi. Akhirnya Ratna memutuskan untuk memadukan sekolah dan terapi. Dari jam 8 pagi sampai 12 siang Alya bersekolah, setelah itu terapi dari jam 2 sampai 4 sore.
“Perkembangannya bagus. Memang belum bisa berbicara tapi kesadaran pada lingkungan sekitar sudah ada. Misalnya, dia dulu tidak bisa naik sepeda. Dulu dibeliin sepeda cuma dipegang saja. Tapi sekarang, mungkin karena lihat teman-temannya naik sepeda, dia mau belajar naik sepeda roda empat.”
Mungkin ini hal biasa buat anak non-autistik seumuran Alya, tapi bagi Ratna, ini menunjukkan bahwa Alya bisa mengendalikan kekuatan kaki dan tangan.
“Anakku ternyata bisa sepedaan. Tangannya juga bisa mengarahkan stang. Itu berarti pikirannya ada untuk saling berkoordinasi. Gerakan motoriknya juga bagus.”
Contoh lainnya, Alya bisa buka rak sepatu, mengambil dan kemudian memakai sepatunya. Gadis lucu itu juga sudah bisa buka pintu mobil, masuk dan menutup pintu. Alya juga sudah bisa menunjukkan suasana hatinya.
“Kalau dia lagi senang, dia ngikutin aku dan tiba-tiba meluk. Dia bisa mengekspresikan rasa sayangnya. Sekarang kami bisa ngobrol meski tak secara verbal. Sudah ada komunikasi timbal balik melalui ekspresi yang dia tunjukkan,” paparnya.
Hal-hal kecil yang dilakukan Alya tetap memunculkan harapan di hati Ratna, bahwa suatu saat nanti anaknya bisa berkomunikasi dengan baik. Mungkin bukan sekarang, namun dia yakin hal itu pasti akan terjadi.