KBR68H, Jakarta - Satu dari 68 anak di Amerika Serikat adalah penyandang autisme. Ini adalah data terakhir yang dirilis US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada 27 Maret 2014. Dengan jumlah ini berarti ada peningkatan hampir 30 persen jika dibandingkan dengan data 2012 lalu.
Jumlah anak penyandang autis di Indonesia meningkat hingga lima kali lipat tiap tahunnya. Saat ini diprediksi jumlah penyandang mencapai tiga juta orang dengan perbandingan 6 diantara 10 ribu kelahiran. Lembaga Pendidikan Lanjutan Individu Autistik, Lentera Asa bisa jadi salah satu yang berani berinovasi dalam mengembangkan kurikulum untuk remaja autisme. (Paragraf sudah dikoreksi, semula tertulis "penderita" autisme. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini - red.)
Dikutip dari autisme.or.id, autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang belum diketahui penyebabnya, juga penyembuhannya. Gejalanya muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan ini mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini sang anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Kecerdasan individu
Tantangan terbesar Lentera Asa adalah merancang kurikulum yang sesuai untuk remaja autistik yang sejatinya tak berbeda dengan remaja lain yang non-autistik. Artinya, kecerdasan setiap individu sangat bervariasi. Dengan begitu, maka kemungkinan pendidikan bagi individu autistik bervariasi, "Mulai dari 'bisa mencapai pendidikan setinggi-tinggi mungkin' sampai 'tidak bisa dididik tetapi hanya dapat dilatih saja'," kata Ida Susanti Sari, penanggung jawab kurikulum di Lentera Asa.
Ida menambahkan, di lembaganya semua materi mata pelajaran memang dibuat khusus. Salah satu cirinya, kata dia, adalah mata pelajaran harus mengikuti kemampuan individu autis.
"Kalau pelajaran semua anak sama untuk setiap anak. Tetapi materinya disesuaikan. Misalnya matematika, antara satu anak dengan anak lain bisa berbeda. Juga materi lain bahasa Indonesia, pengetahuan umum. Akademis mereka itu sama sih dapatnya, dapat matematika, bahasa dan pengetahuan umum sama. Cuma matematika antara anak satu dan yang lain itu berbeda," katanya.
Siswa yang masuk Kelas A adalah mereka yang sudah lancar baca tulis hitung dan tingkat pemahamannya seperti anak SD, SMP, dan SMA. Bahkan sudah mampu menghasilkan sesuatu secara mandiri. Untuk kelas B masih fokus pada pencapaian aspek akademis dan belajar dasar beradaptasi yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Sementara itu untuk kelas C adalah siswa yang masih sedang belajar. Konsep awal baca tulis itu, berlatih kemandirian, berlatih komunikasi dengan teknik 'khusus' ditujukan bagi siswa yang berkreasi dan membuat suatu kerajinan untuk dipakai sendiri atau dijual.
Setiap kelas terdiri dari 2-5 siswa autistik. Usia tidak menjadi pembatasan. Karena tolak ukurnya adalah kemampuan. Biasa saja yang usianya lebih muda kemampuannyalebih baik daripada yang lebih tua atau sebaliknya.
Kurikulum khusus
Ida menjelaskan, di Indonesia belum ada kurikulum khusus anak atau remaja autis. Karena itu yang lebih ditekankan sekolah untuk penyandang autisme, terutama pendidikan lanjutan, adlaah memberikan bekal individu autistik untuk mandiri.
Maka itu konsep pendidikan Lentera Asa menyiapkan siswa untuk dapat mandiri bermartabat. Maka materi yang diberikan kepada siswa berupa bekal untuk bisa mandiri. Tentu kurikulum tersebut berbeda dengan kurikulum yang diedarkan oleh Kementerian pendidikan, karena bermuatan akademis.
Sementara remaja autis di Lentara Asa ini memberikan materi yang bersifat praktis dimulai dengan kehidupannya sehari-hari.
Untuk materi pelajaran, sekolah Lentera Asa mengacu ke kurikulum pendidikan untuk tingkat dasar, menengah dan atas. Hanya saja materi pelajarannya dibuat sesederhana mungkin. Selain itu materi pelajaran yang diberikan pun mendekati kenyataan di dunia nyata.
"Teorinya saya ambil dari sekolah umum. Misalnya anak yang pelajaran tentang matematika, tentang konsep discount dan konsep paket. Itu kan kan matematika SMP, nanti saya minta ke guru kelasnya untuk mengajari itu."
Sesuadah belajar di kelas siswa diajak praktek. "Jadi setelah belajar konsep uang di kelas siswa diajak berbelanja di toko," papar Ida.
Ada juga pelajaran ilmu pengetahuan, salah satunya soal pertumbuhan manusia dari bayi sampai besar, ciri fisik wanita dan pria. "Biar menarik dan mereka ingin kerjakan soal, kasih gambar yang berwarna," papar Ida.
"Kita kasih gambar, kalau perempuan sudah besar ini lho. Wanita remaja, tumbuh payudara. Itu belajarnya biologi," jelas dia. Misalnya ada dua siswa perempuan di sekolah itu, yang satunya sudah tumbuh payudaranya, sementara yang satunya belum.
Bukan sekolah biasa
Sekolah Lentera Asa tidak seperti sekolah pada umumnya.
Di sini, orangtua dilibatkan secara penuh dalam proses belajar mengajar. "Apa yang diajarkan siswa di sekolah, minta dipraktikan di rumah. Misalkan siswa diajarkan membereskan tempat tidur. Kita minta orangtua untuk melatih anaknya membereskan tempat tidurnya sendiri.
Setiap hari sekolah memberikan laporan berupa buku komunikasi yang berisi tentang kegiatan dan perkembangan siswa di sekolah.
Editor: Citra Prastuti