KBR68H, Jakarta - Tak mudah menjumpainya, karena ia, Sumaryati adalah penelusur lorong-lorong Jakarta. Ia juga sesekali tidur di lorong itu. Begitu komentar beberapa teman perempuan Sumaryati ketika beberapa orang mencarinya.
Sumaryati, siang itu sedang menyapu jalan-jalan di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sesekali ia beristirahat sebentar untuk minum, namun kali lain ia tak memperhitungkan kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Prinsipnya, ia akan membersihkan kota Jakarta karena ia adalah penyapu jalan Jakarta. Sebuah profesi yang paling bawah dari takdir manusia, begitu menurutnya sambil tertawa.
“Bayangkan saja, para penyapu jalan ini, ibu-ibu ini lagi menyapu, tiba-tiba ada pengendara duduk di mobil, kemudian membuka jendela dan meludahi kami.”
Kalimatnya kemudian disambut tawa getir ibu penyapu jalan yang lain.
“Sering juga ketika kami menyapu, yang sedang jalan pada tutup hidung, katanya kami bau,”
Sumaryati menimpali kembali. ” Walaupun ini profesi terendah, membersihkan sampahnya orang-orang, tapi kami tak pernah malu melakukannya.”
Menjadi Buruh dan Korban Penggusuran Jakarta
Bagi Sumaryati (46 tahun), perjalanannya ke Jakarta dari kampungnya di pelosok Ponorogo Jawa Timur bukan tanpa alasan. Kesehariannya menjadi petani, ke sawah, menanam, mencari rumput untuk kambing dan sapi bapaknya tak lagi menjanjikan hidup yang lebih baik. Ia mengalami masa paceklik yang panjang sehingga sawahnya tak lagi menghasilkan beras dan kebunnya hanya menghasilkan singkong.
Setelah menikah dan mempunyai anak, ia kemudian bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Jakarta. Namun tak lama kemudian majikannya pindah ke kota lain. Ia pun bergeser menjadi buruh pabrik di pabrik kembang api di kawasan Ancol. Manajernya kala itu tak tahu kalau Sumaryati tak bisa membaca. Ia memang tak pernah mengecap bangku sekolah karena miskin.
“Ketika tahu kalau saya ternyata tidak bisa membaca dan menulis, maka kemudian saya diminta mundur. Saya pantang menyerah, lalu daftar lagi di pabrik yang lain. Saya kemudian diterima di pabrik tenda di Pademangan. Tapi syaratnya kalau bekerja di situ, saya harus lajang, tidak boleh bersuami. Padahal syarat ini tidak berlaku bagi laki-laki.”
Maka ketika bekerja di pabrik tenda selama 7 tahun itu, Sumaryati selalu mengaku lajang kepada manajernya di pabrik. Ini adalah siasat Sumaryati untuk bertahan hidup di Jakarta.
Sejak itu pula ia belajar bagaimana cara melawan sekaligus berkompromi. Ia belajar bagaimana bekal-bekal menjadi buruh di Jakarta. Hidup di rumah-rumah bedeng sempit dan bekerja tak kenal lelah di pabrik. Maka ketika di tahun 2002, rumah-rumah bedengnya di Pademangan digusur oleh Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Soetiyoso, ia melawan bersama para korban penggusuran lainnya.
Ternyata tak hanya di Pademangan. Rumah bedengnya di Kapuk dan Cengkareng juga digusur oleh Soetiyoso tak lama sesudah ia pindah rumah. Hingga ia kemudian tak punya tempat tinggal dan harus tidur selama 1 tahun di halaman Komnas HAM di Jl. Latuharhary Jakarta.
“Waktu itu Soetiyoso membutuhkan banyak lahan untuk pembangunan mall-mall, maka kami yang orang kecil selalu digusur dimana-mana,”kenangnya mengingat masa lalu.
Di tahun 2004, bersama kelompok Pawang (Paguyuban Warga Anti Penggusuran Jakarta) ia kemudian menggugat Soetiyoso atas penggusuran tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas gugatan tersebut, Sumaryati dan korban penggusuran dimenangkan oleh pengadilan. Namun sayang hingga sekarang, ganti rugi tak juga ia dapatkan.
“Tetangga saya ada yang stress dan kemudian meninggal. Menunggu ganti rugi sampai mati,” ujarnya terbata. Ia menyeka air matanya.
Dari Pemulung Sampai Tukang Sapu
Lalu ia pun hidup mengembara. Ia mulai merintis pekerjaan barunya. Menjadi pemulung karena ia tak punya apa-apa lagi. Sumaryati bersama suami dan tiga anaknya kemudian hidup dari memulung sampah. Mereka tinggal di kampung pemulung di Kedoya, Jakarta. Nasib kemudian membawanya menjelajahi trotoar-trotoar di Jakarta.
Jadi ketika tiba-tiba ada tawaran warga sekitar untuk menjadi buruh penyapu jalanan, ia langsung menganggukkan kepala. Karena selama ini, jalanan telah memberinya harapan.
Sejak tahun 2010, Sumaryati menjadi penyapu jalanan resmi Pemda DKI Jakarta hingga sekarang. Dari penghasilannya sebagai penyapu jalan dan penghasilan suaminya sebagai pemulung, kemudian hidupnya makin membaik. Ia juga berorganisasi dan masuk menjadi pengurus Forum Masyarakat Kota Jakarta (FMKJ), lembaga yang mengurus soal persoalan miskin kota di Jakarta.
Sumaryati kemudian kenal dengan banyak organisasi lain. Anaknya, Robby kemudian bisa sekolah hingga ke Perguruan Tinggi dengan beasiswa beberapa organisasi.
Ketika mengantarkan Robby kuliah, Sumaryati bertanya pada Robby, “Kamu tidak malu kan, punya ibu buruh tukang sapu jalanan?”
“Tak bisa begini aku tanpa bantuan emak,” begitu gumam Robby.
Robby bangga dengan Sumaryati, buruh penelusur jalan Jakarta yang mengantarkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Editor: Citra Dyah Prastuti
Dari Jalanan, Buruh Perempuan Ini Berhasil Kirim Anaknya Kuliah
Sumaryati menyusuri trotoar Jakarta, dari menjadi buruh sampai penyapu jalanan.

NASIONAL
Rabu, 30 Apr 2014 19:18 WIB


jalan, buruh, perempuan
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai