Bagikan:

Amnesty International: Korban-Korban Konflik Aceh Menunggu Kebenaran, Keadilan, dan Repara

Kegagalan pemerintah Indonesia untuk menyediakan kebenaran, keadilan, dan reparasi (pemulihan) yang sejati bagi para korban dan keluarga mereka menyebabkan penderitaan besar bagi orang-orang di Aceh pada saat ini.

NASIONAL

Kamis, 18 Apr 2013 15:54 WIB

Author

HH

Amnesty International: Korban-Korban Konflik Aceh Menunggu Kebenaran, Keadilan, dan Repara

Amnesty International | Korban Konflik Aceh | Isabelle Arradon

KBR68H - Konflik Aceh di masa lalu masih menyisakan masalah. Para korban dan keluarganya masih menunggu pemerintah Indonesia untuk menyediakan kebenaran, keadilan, dan reparasi (pemulihan) penuh selama hampir delapan tahun setelah berakhirnya konflik Aceh yang menghancurkan.

Dalam sebuah laporan berjudul “Saatnya Menghadapi Masa Lalu” (Time to Face the Past) yang diluncurkan hari ini (18/4), lembaga hak asasi manusia Amnesty International mendokumentasikan kegagalan pemerintah pusat dan lokal untuk menghadirkan kebenaran atas kekerasan bertahun-tahun yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa antara 10.000 hingga 30.000 orang, banyak di antaranya adalah penduduk sipil. Banyak dari mereka yang kehidupannya terkoyak oleh konflik masih mengalami penderitaan yang berat.

“Kegagalan pemerintah Indonesia untuk menyediakan kebenaran, keadilan, dan reparasi (pemulihan) yang sejati bagi para korban dan keluarga mereka menyebabkan penderitaan besar bagi orang-orang di Aceh pada saat ini,” kata Isabelle Arradon, Deputi Direktur Asia-Pacific dari Amnesty International, dalam rilis yang diterima PortalKBR.

Para keluarga korban masih tidak tahu apa yang terjadi atas keluarga mereka yang hilang dan masih susah payah untuk menerima hal ini, sementara mereka yang bertanggung jawab hidup bebas. "Situasi ini mengembangbiakan kebencian yang bisa menabur benih kembalinya kekerasan di masa depan.”

Konflik Aceh antara gerakan pro-kemerdekaan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia bermula pada 1976, dan memuncak selama operasi militer antara 1989 sampai perjanjian damai ditandatangani pada 2005. Proses perdamaian ini membutuhkan suatu kerusakan luar biasa terhadap penduduk di Aceh, wilayah paling utara dari pulau Sumatra.

Perjanjian damai 2005 menyerukan pembentukan pengadilan HAM sekaligus suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi Aceh. Tapi dua-duanya belum ada hingga saat ini. Sangat sulit bagi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan hak asasi manusia yang serius dibawa ke muka hukum, sementara upaya untuk menyediakan reparasi (pemulihan) bagi para korban tidak memadai.

“Para korban yang berbicara dengan kami senang dengan relatifnya stabilitas sejak perjanjian damai 2005, tetapi mereka tidak bisa mengerti mengapa hak-hak mereka atas kebenaran dan keadilan, tidak dihargai,” tutur Isabelle Arradon.

Amnesty International dan kelompok-kelompok hak asasi manusia lainnya telah mendokumentasikan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan dan kelompok pendukungnya terhadap penduduk sipil, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan. Kejahatan atau kekerasan juga dilakukan oleh GAM termasuk penyanderaan dan pembunuhan dengan target terhadap mereka yang dianggap berhubungan dengan pemerintah.

Berbagai kejahatan atau kekerasan ini, di bawah hukum internasional, ada kemungkinan termasuk sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Di bawah hukum internasional, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan ini, dan jika ada bukti-bukti yang cukup, wajib mengadili para tersangka pelaku sesuai dengan standar internasional tentang peradilan yang adil.

Meskipun sudah ada upaya terbatas dari pemerintah Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki apa yang terjadi di Aceh, hasil-hasilnya tidak tersedia ke publik. Upaya membentuk suatu Komisi Kebenaran di tingkat nasional juga gagal. Mahkamah Konstitusi pada 2006 membatalkan suatu undang-undang yang sangat buruk untuk membentuk komisi tersebut, karena undang-undang tersebut menyatakan bahwa para korban hanya bisa menerima reparasi (pemulihan) jika mereka yang diduga pelaku kejahatan telah diberikan amnesti.

DPR dijadwalkan untuk membahas kembali masalah Komisi Kebenaran nasional sebelum 2014, tetapi tidak jelas apakah ada kehendak politik untuk membentuknya. Sementara itu, para korban dan keluarga mereka di Aceh dibiarkan tanpa informasi tentang apa yang terjadi selama konflik, termasuk keberadaan ratusan “orang-orang hilang” yang belum juga dipertanggungjawabkan.

Semakin lama masalah ini dibiarkan, ada resiko informasi-informasi berharga akan hilang, membuat pembentukan suatu komisi kebenaran yang efektif menjadi lebih mendesak. Karena pada saat yang bersamaan, menurut Amnesty International, suatu iklim ketakutan masih meliputi Aceh. Beberapa perwakilan para korban menceritakannya kepada Amnesty International, mereka telah mengalami intimidasi karena kerja mereka melawan impunitas atas kejahatan masa lalu.

“Kegagalan mengadili mereka yang bertanggungjawab memiliki konsekwensi yang besar bagi supremasi hukum pada hari ini. Dengan merespon situasi ini di Aceh, pemerintah Indonesia tidak hanya bisa menyembuhkan luka menganga, tetapi juga membantu memperkuat supremasi hukum dan mengamankan proses perdamaian untuk jangka panjang,” tandas Isabelle Arradon.


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending