KBR, Jakarta- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan perempuan yang aktif dalam dunia politik sering kali menjadi sasaran serangan berupa pelecehan verbal, kampanye hitam, serta ancaman di media sosial.
Peneliti BRIN, Irine Hirawari Gayatri mengatakan dalam konteks politik elektoral, perempuan seringkali mengalami pelecehan dan kampanye hitam.
“Bahwa ada konteks pelecehan dan kampanye hitam dikenakan kepada calon anggota perempuan, ada yang merespon misalnya tentu saja kita harus punya rekam jejak yang positif dari seorang kader, apalagi dia perempuan membawa elemen perempuan 2 elemen ya ibu dalam konteks politik elektoral dan sebagainya. Tapi mereka sebenarnya rentan dan juga cenderung menerima pelecehan secara verbal ya,” ucap Irine dalam acara Brief Perempuan di Politik: Peran Organisasi dalam Membangun Pemimpin Masa Depan pada Jumat (7/3/2025).
Baca juga:
- CSIS Catat Keterpilihan Kepala Daerah Perempuan Rendah, Berapa Angkanya?
- 'Aisyiyah Menegaskan Tidak Menganjurkan Sunat Perempuan
Serangan yang diterima politisi perempuan, menurut Irine, seringkali bersifat seksis dan menyasar aspek pribadi mereka, seperti penampilan, status perkawinan, atau peran mereka sebagai ibu. Ia menegaskan, intimidasi semacam ini tidak hanya mempengaruhi kandidat yang sedang berkampanye, tetapi juga dapat menimbulkan efek jera bagi perempuan lain yang berniat untuk terjun ke dunia politik.
Lebih lanjut, Irine mencontohkan bagaimana media sering terjebak dalam framing bias gender, yakni kehidupan pribadi politisi perempuan lebih banyak disorot, termasuk bagaimana mereka membagi waktu untuk keluarga, ketimbang membahas kebijakan atau kompetensi mereka dalam menangani masalah publik.
"Media sering kali lebih menyoroti bagaimana seorang perempuan mengatur waktu untuk keluarga daripada membahas kebijakan atau kontribusinya dalam menyelesaikan masalah sosial dan kebijakan publik," ujar Irine.
Irine menyarankan agar media dan masyarakat lebih fokus pada kontribusi politisi perempuan terhadap masalah-masalah publik, seperti bagaimana seorang kader perempuan dari suatu partai dapat membantu menangani persoalan di daerah yang terdampak bencana, daripada membahas bagaimana mereka membagi waktu antara rumah tangga dan karir politik.