KBR, Jakarta- Peneliti Senior Imparsial Al Araf mengatakan masuknya TNI aktif ke jabatan sipil akan merusak sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Dia juga khawatir perluasan penempatan militer aktif di jabatan sipil --yang menjadi salah satu poin revisi UU TNI-- akan mengganggu sistem meritokrasi.
Peringatan dan kekhawatiran Al Araf disampaikan saat dia mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan revisi UU TNI di Komisi I DPR RI, Selasa (4/3/2025).
Al Araf mengatakan, prajurit TNI aktif seharusnya hanya boleh menempati jabatan sipil secara terbatas. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur hanya ada 10 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh militer aktif.
"Tapi praktiknya data Babinkum TNI menyebutkan, ini waktu saya diskusi di Lemhanas 2023, itu 2.500 prajurit ada duduk di jabatan sipil. Ini tolong di-crosscheck kembali. Karena saya pakai data waktu presentasi Babinkun di masa tersebut yang menurut saya sudah melampaui yang diatur di dalam UU TNI tahun 2004. Apa implikasinya? Ada pelanggaran terhadap UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Karena di dalam pasal 47 itu hanya terbatas untuk a b c dan d. Tapi sekarang banyak (TNI aktif) di berbagai kementerian. Ini menurut saya pelanggaran dasar terhadap UU TNI," kata Al Araf.
Araf mengingatkan, seharusnya anggota DPR tidak membiarkan praktik tersebut terus terjadi.
Dia mendorong DPR mengoreksi penempatan TNI aktif di jabatan sipil yang melanggar aturan, bukan malah memperluas area yang boleh diduduki TNI melalui revisi undang-undang.
"Jangan kembali tarik militer ke dalam ruang jabatan sipil, jangan goda mereka masuk ke wilayah itu. Karena itu akan merusak tata sistem ketatanegaraan kita," ujarnya.
Salah satu yang disorot Al Araf adalah pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya ke dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto. Teddy diangkat menjadi sekretaris kabinet, namun tidak mengundurkan diri dari militer.
"Wah, perdebatan pelik dan kompleks yang menurut saya itu jelas melanggar UU TNI tentang posisi di jabatan sipil," sebutnya.
DPR mulai membahas revisi Undang-Undang TNI, usai rancangan tersebut masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Salah satu ketentuan yang tengah digodok yakni perluasan penempatan TNI di jabatan sipil.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin mengatakan kewenangan TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil harus dicermati. Salah satu yang dikhawatirkan adalah potensi ketimpangan atau konflik antara prajurit aktif dengan masyarakat sipil.
"Menurut hemat saya tidak relevan lagi kalau (revisi UU TNI ini) dihubungkan pada akan kembalinya kepada dwifungsi ABRI. Tetapi (penempatan jabatan sipil) ini harus benar-benar selektif ya dalam menempatkannya. Justru yang saya pribadi takutkan adalah kasihan kepada PNS-PNS nya," ujar Hasanuddin dalam rapat di Komisi I DPR, Senin (3/3/2025).
TB Hasanuddin mendorong ada kajian yang lebih mendalam terkait rencana perluasan posisi TNI di jabatan sipil.
Dia mengingatkan supaya tidak ada kongkalikong dalam menempatkan prajurit aktif di jabatan sipil.
"Dia memang sangat dibutuhkan dan kemudian harus sesuai permintaan menterinya, dan yang ketiga juga harus kapabel. Oh dia lulusan IPB, ya harus tempatkan di Kementerian Pertanian. Kalau hanya lulus Akademi Militer, mohon maaf ya kami kan belajarnya hanya bertempur Pak," katanya.
Baca juga:
- Prabowo Saat Rapim TNI-Polri: Jangan Arogan, Pangkat dari Rakyat
- Menhan Dorong Revisi UU TNI, Apa Alasannya?
Menurut Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), terdapat 10 jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI. Jabatan-jabatan tersebut adalah:
- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan
- Sekretariat Militer Presiden
- Badan Intelijen Negara
- Lembaga Sandi Negara
- Lembaga Ketahanan Nasional
- Dewan Ketahanan Nasional
- Badan Search and Rescue Nasional
- Badan Narkotika Nasional
- Mahkamah Agung
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga mendesak pemerintah dan DPR tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI.
"Ini kembali ke zaman di mana negara dikuasai kekuasaan berbasis militer. Yang tentu dalam pelaksanaannya akan represif, tidak mengenal diskusi dan dialog lebih dalam lagi gitu. Dan ini juga kemudian masuk kembali ke dalam bisnis militer," ujar Isnur kepada KBR, Kamis (20/2).
Baca juga: