KBR, Jakarta - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM bidang HAM, Imparsial menilai, Revisi Undang-Undang TNI yang saat ini dilakukan oleh Komisi 1 DPR terkesan dipaksakan.
Sampai saat ini, masyarakat sipil atau publik, belum melihat dan menerima naskah akademik maupun draft RUU yang akan dibahas oleh Komisi I tersebut.
Revisi ini juga dikhawatirkan bakal mengembalikan dwifungsi dan membuka luas peluang TNI mengisi jabatan sipil.
Lantas apa masalah yang akan terjadi jika revisi ini dipaksakan? Selengkapnya, berikut kutipan wawancara Jurnalis KBR, Heru Haetami dengan Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra melalui sambungan telepon, Senin (3/3/2025):
ooOoo
Terkait revisi UU TNI dan potensi lebih banyak lagi jabatan sipil diisi oleh TNI. Bagaimana catatan Imparsial terkait dua hal itu?
Kami melihat revisi Undang-Undang TNI ini terkesan dilakukan secara terburu-buru dan juga tertutup, baik oleh pemerintah maupun dan DPR. Salah satu substansi di dalam revisi Undang-Undang TNI kali ini juga terkait dengan jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI aktif atau militer aktif, yaitu revisi terhadap Pasal 472. Nah, dalam revisi tersebut itu disebutkan bahwa TNI atau militer aktif dapat menduduki jabatan sipil lain yang dibutuhkan oleh Presiden.
Nah, ini tentu memberikan tafsir yang sangat luas bagi Presiden untuk bisa menempatkan TNI aktif atau prajurit militer aktif di berbagai jabatan sipil, lembaga atau kementerian.
Nah, ini sebetulnya merupakan konsep yang sama dengan draft pada tahun 2024 yang berhasil digagalkan oleh masyarakat sipil untuk dibahas pada periode DPR pada 2024 lalu. Nah, ini ingin kembali dibahas atau diusulkan didalam revisi Undang-Undang TNI pada tahun 2025 ini.
Masalah apa saja yang bisa timbul jika banyak TNI ditempatkan di jabatan sipil?
Tentunya beberapa dampak dapat ditimbulkan dari banyaknya militer aktif yang menduduki jabatan sipil. Yang pertama berdampak terhadap lembaga sipil tersebut dan yang kedua berdampak terhadap lembaga atau instansi militer. Nah, apa dampaknya terhadap instansi sipil? Pertama adalah bahwa akan terjadi militerisasi di lembaga-lembaga sipil tersebut.
Kenapa? Karena kultur atau budaya militer dengan budaya sipil itu tentu sangat berbeda. Dan juga prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil itu masih tunduk pada hukum militer. Jadi ketika ada terjadi pelanggaran misalnya dilakukan oleh prajurit militer aktif tersebut itu tentunya akan diproses sesuai dengan hukum militer yang berlaku saat ini.
Seperti misalnya kalau ada dugaan tindak pidana korupsi itu hanya akan diproses oleh peradilan militer. KPK tidak bisa memeriksa kalau ada prajurit TNI yang terlibat tindak pidana korupsi. Nanti KPK-nya minta maaf lagi.
Nah, kemudian dampak yang kedua adalah jenjang karir ASN pada lingkungan lembaga atau kementerian tersebut itu juga akan terdampak. Mereka yang sudah menata karir dari bawah dengan cara jalan profesional itu kemudian tiba-tiba yang seharusnya menjadi jatah. Mereka, jabatan tersebut karena promosi dengan berbagai capaiannya itu diisi oleh militer yang datang dari luar.
Bagaimana mendorong presiden prabowo agar stop menempatkan TNI aktif di jabatan sipil?
Rasa-rasanya sulit untuk mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar tidak menempatkan TNI aktif di berbagai jabatan sipil saat ini yang pada pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Prabowo sendiri. Karena beberapa faktor, yang pertama latar belakang Presiden Prabowo sendiri yang dari militer, tentu cara pandang dari Presiden akan lebih cenderung menggunakan militer itu, untuk terlibat dalam berbagai persoalan atau mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Baca juga:
Kontras Beri Masukan soal Revisi UU TNI dan UU Polri
Apakah memungkinkan dengan mendorong DPR agar menghentikan pembahasan revisi UU TNI?
Setali tiga uang saya kira, kalau melihat komposisi partai politik di DPR hari ini yang mayoritas merupakan partai politik pendukung pemerintah, maka saya kira sulit untuk meminta kepada DPR hari ini menghentikan pembahasan provinsi Undang-Undang TNI.
Kita juga tidak melihat ada oposisi yang kuat di DPR, yang ada adalah oposisi malu-malu di DPR saat ini. Yang tidak secara tegas melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan maupun rancangan undang-undang yang kontroversial yang mendapat perhatian dari publik atau dari masyarakat.
Mungkin kita perlu sekali lagi mengingatkan kepada elit-elit politik, partai politik bahwa revisi Undang-Undang TNI yang memberikan keluasan kepada Presiden untuk menempatkan TNI di berbagai jabatan sipil itu berbahaya bagi demokrasi. Dan jangan sampai partai politik yang ada menduduki jabatan di DPR hari ini berkontribusi dalam kembalinya militer kerana sipil atau kembalinya dwifungsi ABRI, itu saja.
Baca juga: