KBR, Jakarta- Pemerintah telah memberikan izin bagi UMKM untuk mengelola tambang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas UMKM, salah satunya dari segi pendanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU Minerba. Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dilakukan dengan mempertimbangkan luas lahan, kemampuan teknis, administrasi, dan finansial.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, UMKM yang ingin mengelola lahan tambang harus memiliki modal minimal Rp10 miliar. Ia berharap dalam 1–2 tahun ke depan, UMKM yang terlibat dapat berkembang menjadi perusahaan besar.
"Pemerintah punya cara berpikir begini. Ini kan retribusi aset tapi harus lewat aturan, nah UMKM ini adalah UMKM daerah. Contoh dia UMKM di daerah Kalimantan Timur atau wilayahnya. Yang mengajukan UMKM itu harus UMKM orang Kalimantan Timur, yang ada di kabupaten itu. Supaya apa?, ya pemerataan. Selama ini kan IUP itu tidak merata. Jujur dalam berbagai kesempatan saya katakan bahwa IUP ini lebih banyak dimiliki kantornya itu berada di Jakarta. Nah ini mau kita kembalikan. Biarlah orang-orang daerah itu menjadi tuan di negerinya sendiri. Nah itu yang menjadi arah kebijakan pemerintah Prabowo,” ujar Bahlil di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2025.
Bahlil menegaskan, mekanisme lebih rinci terkait kebijakan ini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Abai Masalah Dasar UMKM
Namun, Ketua Asosiasi UMKM Akumandiri, Hermawati Setyorini, menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan yang baru disahkan tersebut. Menurutnya, pencantuman UMKM dalam regulasi ini hanya sebatas retorika.
"Jadi, kata-kata UMKM itu selalu ditulis supaya 'oh ini UMKM' lah tapi kan kamu nggak bisa dana segitu, gitu loh. Jadi kayak dimanfaatkan aja kata-kata, kalimat, UMKM itu. Seharusnya, sebenarnya nggak ada masalah kalau mau kasih ke siapa nggak apa-apa. Kalau mau begitu tapi jelas dong. Jangan yang sebenarnya mereka ini tidak dapat akses manfaat, tapi ditarik namanya. Kalau saya kecewa sebagai wadah yang bernaung para pelaku mikro ya. Karena beberapa kali kita kayak ditarik kemana-mana tapi sebenarnya nggak dapat apa-apa gitu loh," ucap Hermawati kepada KBR, Rabu, (19/2/2025).
Baca juga:
Hermawati menilai bahwa UMKM tidak memiliki kompetensi dalam mengelola pertambangan. Ia justru menilai pemerintah seolah mengabaikan masalah mendasar yang dihadapi UMKM, seperti permodalan, kemudahan regulasi, ketersediaan bahan baku, dan pengawasan terhadap produk impor.
Di sisi lain, beberapa anggota DPR menilai bahwa izin usaha bagi UMKM dalam pengelolaan tambang perlu dikaji kembali. Anggota Komisi bidang UMKM dari Fraksi PKS, Tifatul Sembiring, menyoroti perlunya kejelasan mengenai kelompok UMKM mana yang benar-benar memenuhi syarat untuk mengelola tambang.
"Jadi, karena modal mereka kan terbatas dan disebut UMKM. Ini kan dia pemiliknya tunggal misalnya gitu. Terus skupnya terbatas gitu. Jadi sementara, ya UMKM yang mana ini gitu, ini perlu kita kritisi, kita dalamin nanti," ucap Tifatul kepada KBR, Rabu, (20/2/2025).
Tifatul menekankan, pada situasi saat ini, kelompok UMKM lebih membutuhkan akses permodalan dan pasar dibandingkan izin untuk mengelola tambang.
Perbesar Daya Rusak Lingkungan
LSM Lingkungan, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga mengkritik pengesahan revisi UU Minerba.
Koordinator JATAM Nasional, Melky Nahar mengatakan, revisi dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga DPR terkesan lebih mewakili kepentingan oligarki tambang ketimbang kepentingan rakyat.
"Jadi dalam kontes itu legislatif kita justru menjadi panggung sirkus para pebisnis aja sebetulnya. Jadi pilihan untuk kemudian sejumlah pihak ini diberikan konsisten juga bermasalah. Karena dari konteks perspektif aja pemerintah masih percaya bahwa tambang bisa berdampak pada kesejahteraan di masa depan, padahal faktanya ya sama sekali tidak. Pertambangan justru memicu kemiskinan secara sistemik. Karena dia akan melenyapkan basis ruang produksi sebagian besar rakyat Indonesia kan," ujar Melki kepada KBR, Rabu (19/2/2025).
Lebih lanjut, Melky juga menyoroti dampak lingkungan yang berpotensi timbul dari pemberian izin tambang bagi UMKM. Menurutnya, kebijakan ini dapat memperbesar daya rusak terhadap lingkungan.
"Karena tidak ada semacam klausul tertentu yang memberikan jaminan hukum begitu ya, terutama dalam konteks pencegahan atas kerusakan lingkungan, atau penyelamatan ruang produksi warga begitu kan. Lalu yang kedua ya tentu saja potensi konflik yang kemudian pasti akan semakin besar ya. Salah satunya tentu saja dengan ruang kriminalisasi melalui pasal 62 di Undang-Undang Minerba," kata Melky.
Melky juga pesimistis terkait kemungkinan menggugat UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, tidak ada jaminan pemerintah ataupun perusahaan akan mematuhi putusan hukum terkait kebijakan ini.
Baca juga: