KBR, Jakarta- Pada rapat paripurna Selasa (4/2/2025), DPR mengesahkan revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib). Pada ketentuan Pasal 228A, lembaga legislatif itu memiliki kewenangan untuk memberikan evaluasi dan rekomendasi pemberhentian pejabat negara. Dalam pasal yang sama ayat b disebutkan, hasil evaluasi bersifat mengikat dan disampaikan ke pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.
Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengatakan, parlemen juga berwenang merekomendasikan pemberhentian jabatan yang dinilai melanggar aturan.
"Evaluasi secara berkala terkait dengan adanya, ya sebelumnya mungkin adanya kinerja-kinerja yang tidak sesuai dengan sebagaimana hasil fit and proper test sebelumnya. Dimungkinkan seperti itu, tingkatan atau tahapan evaluasinya seperti itu," kata Bob kepada wartawan di kompleks Parlemen, Rabu, (5/2/2025).
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Martin Manurung menyebut, revisi tatib bertujuan untuk meningkatkan fungsi pengawasan terhadap pejabat publik yang dipilih dan ditetapkan di paripurna. Politikus Nasdem itu mengatakan, evaluasi akan dilakukan jika pejabat publik yang dipilih mengalami kendala atau tidak maksimal melaksanakan tugas.
Berbeda pendapat dengan DPR, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan revisi Tatib DPR itu justru salah kaprah. Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menilai, DPR bisa makin melampaui kewenangan usai Tatib diterbitkan.
"Ini sudah makin kacau kalau mengartikan pengawasan itu bisa merambah ke mana-mana. Ini yang saya persoalkan sebenarnya. Dan ini jangan dianggap sebagai persoalan sepele. Ini adalah persoalan mendasar, ini serius persoalan fundamental tata negara. Betapa berbahayanya kalau misalnya DPR tidak mengerti dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Atau yang lebih berbahaya lagi dia mengerti sesungguhnya, tetapi dia tidak mau tahu. Dia tetap menjalankan agen-agenda politik untuk melindungi kepentingan politiknya sendiri. Nah, ini yang lebih berbahaya lagi. Itu berarti terang-terangan melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dasar," ujar Palguna kepada KBR, Kamis, (6/2).
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna menegaskan, revisi Tatib DPR itu juga melawan konstitusi. Palguna menyoroti potensi bahaya jika perubahan Tatib DPR ini tetap dijalankan dan tidak dibatalkan. Menurutnya, mekanisme pengawasan telah diatur dalam undang-undang masing-masing lembaga negara, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang diawasi Dewas KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK) diawasi MKMK.
Palguna menekankan, kewenangan DPR hanya mengajukan, menyetujui, dan memberikan pertimbangan kepada calon pejabat independen tertentu, bukan mengevaluasi atau bahkan mencopot.
Kasus Aswanto
Kekhawatiran atas dampak buruk revisi Tatib DPR juga disampaikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Penambahan kewenangan DPR dinilai bisa berujung pencopotan atau pemberhentian pimpinan lembaga negara yang dievaluasi, semisal KPK, Mahkamah Agung, hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai contoh, MK adalah salah satu contoh lembaga yang pernah jadi korban evaluasi ala DPR pada 2022. Saat itu, DPR mencopot Hakim MK Aswanto karena dianggap kerap membatalkan produk undang-undang DPR. Aswanto merupakan Hakim MK yang diusulkan oleh DPR.
Superpower
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menambahkan, logika DPR juga dinilai tak berdasar dan sesat. Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyebut peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib) adalah perbuatan culas. Ia menilai DPR ingin menjadi lembaga yang superpower.
“Kita sudah menyoroti banyak sekali studinya sudah. Bagaimana lembaga-lembaga negara pasca reformasi itu dibajak oleh kekuatan-kekuatan politik. Misalnya dalam pemilihan Hakim kah, KPK, KPU. kita sudah paham bahwa biasanya ada negosiasi politik, dan dengan cara Itulah sebenarnya lembaga-lembaga itu dibajak seperti KPK lah sekarang gitu ya. Di sini timbul potensi benturan kepentingan yang luar biasa besar karena nanti bisa titip kasus," katanya.
Bivitri juga menyebut revisi tatib ini bisa memberikan dampak yang buruk bagi demokrasi. Atas dasar itu, Bivitri mendesak tata tertib DPR segera dicabut.
“Solusinya jelas ini harus dibatalkan oleh DPR sendiri, karena ini peraturan DPR ya. Tapi cara selain dibatalkan oleh DPR sendiri adalah juga dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung. Jadi untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk peraturan DPR itu diujinya ke Mahkamah Agung. Nah itu yang bisa dilakukan," kata dia
Senada, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR RI sedang mengupayakan agar lembaganya memiliki kewenangan yang lebih luas atau superbody, melalui revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Revisi itu berisi ketentuan yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan, serta ditetapkan dalam Rapat Paripurna.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, hal ini berpotensi menimbulkan dominasi DPR dalam mekanisme rekrutmen pejabat negara.
“Saya pikir DPR sedang mendorong dirnya menjadi superbody ya yang kemudian menyebabkan dia ingin ditakuti oleh semua lembaga negara lain, sehingga kalau Anda tidak sesuai dengan kepentingan politik di DPR, siap-siap saja anda dicopot kenapa ? Karena hampir seluruh mekanisme rekrutmen anggota lembaga-lembaga negara itu melibatkan DPR nah jadi dengan demikian DPR sudah salah kaprah dalam melihat itu,” ucapnya kepada KBR, Rabu (5/2/2025).
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura menegaskan, evaluasi terhadap pejabat negara yang sudah lolos uji kelayakan dan dilantik oleh presiden bukanlah bagian dari fungsi DPR.
Selain itu, memasukkan ketentuan evaluasi pejabat dalam aturan tata tertib juga dinilai tidak tepat karena tata tertib DPR hanya mengatur mekanisme kerja internal lembaga tersebut. Dalam prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, Charles mengatakan, tata tertib DPR tidak dapat mengatur kewenangan terhadap lembaga negara lainnya. Seharusnya, kata dia, kewenangan DPR hanya terbatas pada proses fit and proper test, yaitu menyeleksi, menerima, atau menolak calon pejabat negara, tetapi bukan melakukan evaluasi terhadap kinerja mereka setelah dilantik.
Baca juga: