KBR, Jakarta- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima 426 aduan daring dari warga yang merasa dirugikan akibat dugaan Pertamax oplosan sejak Rabu (26/2/2025).
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan menjelaskan dalam formulir pengaduan, masyarakat yang mengadu akan ditanya soal frekuensi penggunaan BBM jenis RON92, waktu penggunaan, dan jenis kerugian yang dialami. Selain itu, mereka juga menggali informasi mengenai mekanisme pengawasan bahan bakar yang dirasakan masyarakat.
"Per hari ini sudah ada 426 pengaduan secara daring yang masuk. Di dalam formulir pengaduan yang kami sebar, kami menanyakan beberapa hal ya. Di antaranya adalah berapa kali frekuensi penggunaan BBM jenis RON92, kemudian sejak kapan menggunakan, kerugian apa yang kira-kira dialami," ucap Fadhil dalam Konferensi Pers, Jumat, (28/2/2025).
Selain itu, LBH Jakarta juga menggali informasi dari masyarakat terkait mekanisme pengawasan bahan bakar yang mereka alami.
"Dan kalau RON92 itu ternyata tidak dimanipulasi dan dia bisa menikmati harga yang lebih murah, kira-kira itu bisa digunakan untuk kepentingan apa, dan kami juga menanyakan bagaimana mekanisme pengawasan," imbuhnya.
Baca juga:
- LBH Jakarta Buka Pos Pengaduan Masyarakat Korban Pertamax Oplosan
- Pertamina Bantah Oplos Pertamax, Pakar UGM: Buktikan!
Fadhil menyoroti kebingungan publik akibat ketidakjelasan informasi dari Pertamina terkait kualitas Pertamax. Kata dia, Kejaksaan Agung (Kejagung) bersikukuh dengan hasil penyidikan mereka, sementara Pertamina Patra Niaga menyanggah temuan itu.
"Di satu sisi, Kejaksaan Agung kekeh dengan hasil penyidikan berbasis penangkapan, berbasis bukti, dan merupakan bagian dari kursus penyidikan. Di sisi lain, ada sanggahan-sanggahan yang bagi kami hanya sanggahan ala kadarnya dari Pertamina Patra Niaga. Tanpa suatu proses pemeriksaan dan pengujian yang betul-betul melahirkan fakta yang kredibel. Sehingga sampai dengan saat ini publik juga masih bingung dan masih marah dengan situasi yang ada," tegasnya.
Abai Perlindungan Masyarakat
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios), Muhamad Saleh, menilai Kejagung terlalu fokus pada kerugian negara dalam kasus ini, sehingga mengabaikan perlindungan konsumen.
"Kejaksaan itu fokus pada dugaan kerugian keuangan negara. Penerapan pasal regulasi yang digunakan juga fokus pada tindak pidana korupsi. Tetapi luput pada korban atau masyarakat umum yang terdampak langsung," ucap Saleh.
Sebagai bentuk respons atas keluhan masyarakat, Celios dan LBH Jakarta sepakat untuk membuka posko pengaduan bagi korban dugaan pengoplosan Pertamax. Melalui posko tersebut, mereka berencana mengidentifikasi sejauh mana kerugian yang dialami masyarakat.
"Dibukanya posko pengaduan ini nantinya akan kami coba identifikasi beberapa hal mengenai dampak kerugian yang dialami oleh masyarakat," imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pengaduan masyarakat akan dikaji dari sisi regulasi, khususnya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
"Khususnya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk memastikan proses rehabilitasi dan pemulihan hak-hak korban," pungkasnya.
Sebelumnya, Kejagung menduga PT Pertamina Patra Niaga melakukan pengoplosan dengan membeli Pertalite (RON90) dan mencampurnya untuk meningkatkan nilai oktan menjadi RON92 (Pertamax). Sembilan tersangka telah ditetapkan, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Kasus ini diduga merugikan negara hampir Rp1 kuadriliun.
Baca juga: