KBR, Jakarta- Sebagian kalangan pengamat energi menilai korupsi di PT Pertamina merupakan mega proyek yang dilakukan oleh mafia migas.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, penyebabnya mulai dari lemahnya tata kelola hingga pemilihan direksi yang tidak berintegritas.
"Jadi tata kelola itu tidak dirumuskan secara baik. Mestinya tata kelola tadi itu accountable dan juga transparan hingga siapapun itu bisa melakukan kontrol terhadap tata kelola tadi. Nah kemudian yang kedua, kejahatan tadi itu melibatkan para elite pengambil keputusan di bidangnya tadi, misalnya Direktur Utama Patra Niaga, Direktur Internasional Kilang, Direktur Shipping misalnya. Itu semua terlibat dan orang-orang itu dia punya kewenangan untuk membuat keputusan, tetapi dia nggak punya integritas, sehingga dia terlibat dalam kejahatan tadi," ucap Fahmy kepada KBR, Rabu, (26/2/2025).
Baca juga:
Fahmy mengungkap, modus yang digunakan para mafia migas serupa dengan modus-modus yang terjadi sebelumnya, yakni mark-up impor minyak mentah dan BBM, serta upgrade blending BBM dari Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92).
"Dalam praktiknya, minyak mentah produksi dalam negeri ditolak diolah di kilang Pertamina dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai dengan kualifikasi Kilang Pertamina, sehingga harus impor minyak mentah untuk diolah di kilang dalam negeri. Dengan alasan kapasitas kilang tidak memenuhi, maka BBM masih harus impor dalam jumlah besar. Harga impor minyak mentah dan BBM itu telah dimarkup, sehingga merugikan keuangan negara yang harus membayar impor tersebut lebih mahal. Mark-up juga dilakukan pada kontrak pengiriman (shipping), dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13% hingga 15%," ucapnya.
Baca juga:
- Bantah Soal Pertamax 'Oplosan', Pertamina: Hanya Tambah Zat Aditif dan Pewarna
- Kejagung Sebut BBM 'Oplosan' dari Pertalite ke Pertamax Terjadi 2018-2023
Alih-alih membantah lewat pernyataan, Fahmy mendorong Pertamina untuk membuktikan kepada publik terkait kualitas Pertamax yang dijual. Sebab, dugaan pengoplosan Pertamax telah merugikan masyarakat sebagai konsumen BBM, yang membayar harga Pertamax namun yang diperoleh Pertalite yang harganya lebih murah.
"Pertamina tidak cukup hanya buat statemen yang membantah. Apalagi yang dibantah itukan statemennya dari Kejaksaan Agung. Maka menurut saya perlu ada pembuktian dengan misalnya mengambil sampling, di beberapa SPBU, kemudian diuji. Dan pengujian itu harus melibatkan tenaga ahli yang memang ahli di bidangnya. Itu yang bisa membedakan mana Pertamax, mana Pertalite, dan berapa kadarnya kalau itu Pertamax misalnya," pungkasnya.
Sebelumnya, sejumlah direksi di PT Pertamina subholding ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dalam kasus itu, salah satu modus korupsi yang dituduhkan Kejagung kepada tersangka adalah mengoplos bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 atau Pertalite menjadi RON 92 atau Pertamax.