KBR, Jakarta- Pakar hukum menilai langkah parlemen merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah perbuatan culas. Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mempertanyakan alasan yang dipakai DPR untuk memperluas kewenangannya.
Sebab menurutnya, ini adalah langkah yang salah dan bertentangan dengan undang-undang. Selain itu, revisi tatib bisa berdampak buruk bagi demokrasi. Apa dan bagaimana analisisnya?
Simak wawancara KBR dengan Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
KBR: Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib memungkinkan legislatif bisa mengevaluasi pejabat negara, seperti KPK, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA). Bagaimana tanggapan dan kajian dari Anda soal ini?
Bivitri: "Ini suatu langkah yang salah. Kita bisa punya dua kemungkinan, ya, ada kesalahan yang sefatal ini dilakukan. Kemungkinannya adalah satu anggota DPR tidak tahu betul-betul atau tidak pernah belajar, dan yang kedua adalah kalau mereka memang sengaja memanipulasi kewenangan mereka alias menyalahgunakan kewenangan. Masa sih anggota DPR enggak belajar? Jadi, kemungkinan terbesar memang ini adalah manipulasi kewenangan. Jadi, penyalahgunaan kekuasaan mereka untuk mengintervensi lembaga-lembaga lain. DPR ini bukan perusahaan, bukan juga misalnya presiden yang bisa menunjuk pembantunya yang namanya menteri. Jadi, si pejabat publik kemudian akan diatur menurut undang-undang lembaganya masing-masing, bukan oleh peraturan DPR," ujar Bivitri kepada KBR, Kamis, (6/2/2025).
KBR: Menurut Anda, apa alasan revisi ini dilakukan, dan bagaimana dampaknya?
Bivitri: "Alasannya adalah menurut saya sih, ya, memang DPR ingin membajak. Mereka ingin jadi super power gitu. Jadi, bukan sekadar apakah ini menyalahi dan bisa tumpang tindih dengan kewenangan presiden, ya, pasti, ya, itu satu. Tetapi, juga lepas dari itu kan kita sudah menyoroti banyak sekali studinya sudah. Bagaimana lembaga-lembaga negara pascareformasi itu dibajak oleh kekuatan-kekuatan politik. Misalnya dalam pemilihan hakim kah, KPK, KPU. kita sudah paham bahwa biasanya ada negosiasi politik, dan dengan cara itulah sebenarnya lembaga-lembaga itu dibajak seperti KPK-lah sekarang gitu, ya. Ini bisa dibilang ancaman sistematis, ya, melalui peraturan. Dengan mengatakan bahwa kapan saja mereka bisa memberhentikan. Jadi, perlu kami klarifikasi dalam kajian hukum tata negara fungsi pengawasan DPR itu sifatnya bukan personal, tapi kelembagaan. Di sini timbul potensi benturan kepentingan yang luar biasa besar, karena nanti bisa titip kasus," katanya.
KBR: Lantas apa yang bisa publik atau masyarakat lakukan dalam hal ini?
Bivitri: "Solusinya jelas ini harus dibatalkan oleh DPR sendiri, karena ini Peraturan DPR, ya. Tetapi, cara selain dibatalkan oleh DPR sendiri adalah juga dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung. Jadi, untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk peraturan DPR itu diujinya ke Mahkamah Agung. Nah, itu yang bisa dilakukan," ucapnya.
Baca juga:
Tambahan kewenangan legislatif itu dimasukkan dalam revisi Peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib), tepatnya Pasal 228A yang disahkan Selasa, 4 Februari 2025. Dalam pasal yang sama ayat b disebutkan, hasil evaluasi bersifat mengikat dan disampaikan ke pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) khawatir, tambahan kewenangan ini bisa berujung pencopotan atau pemberhentian pimpinan lembaga negara yang dievaluasi, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Agung (MA), hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
MK adalah salah satu contoh lembaga yang pernah jadi korban evaluasi ala DPR pada 2022. Saat itu, DPR mencopot Hakim MK Aswanto karena dianggap kerap membatalkan produk undang-undang DPR. Aswanto merupakan hakim MK yang diusulkan DPR.