KBR, Jakarta- Jaksa Penuntut Umum Ardito Muwardi menilai pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh terpidana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tidak berdasar. Kata dia, langkah untuk menggunakan perkara Buni Yani sebaga dasar PK tidaklah tepat.
Ia beralasan, perkara Ahok dan Buni Yani berbeda dan tidak saling terkait. Ahok diperkarakan karena penistaan agama sementara Buni Yani soal pelanggaran undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Apa yang jadi dasar dalam pembuktian putusan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Buni Yani dipersalahkan karena ITE. Itu adalah menyangkut unsur delik. Ahok dipersalahkan karena penodaan agamanya. Pembuktian di Buni Yani itu tidak sama sekali mengganggu pembuktian di tempatnya Ahok, demikian juga sebaliknya, pembuktian di tempat Ahok tidak mengganggu di Buni Yani. Syarat pengajuan PK, berdasarkan pasal 263 ayat 2 huruf b, itu menjadi syarat pengajuan PK apabila ada dua putusan yang saling meniadakan, saling mempengaruhi," kata Ardito usai sidang perdana di PN Jakarta Utara, Senin (26/2/2018)
Jaksa Penuntut Umum juga menolak dasar PK tentang adanya kekhilafan hakim. Mereka berpendapat bahwa putusan hakim atas vonis Ahok sudah tepat.
Hakim Ketua Mulyadi (kanan) bersama Hakim Anggota Tugianto (kiri) memimpin jalannya sidang Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait kasus penistaan agama yang menjerat Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2).
Sebelumnya, terpidana kasus penistaan agama yang juga bekas Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mendaftarkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Februari 2018. Ahok divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim pada 9 Mei 2017 dan langsung ditahan di Mako Brimob.
Cuplikan video berisi pernyataan Ahok ini diunggah oleh Buni Yani yang lantas menjadi viral dan meletupkan aksi. Buni Yani kemudian dilaporkan atas pelanggaran UU ITE dan divonis bersalah dengan hukuman 1,5 tahun penjara pada 14 November 2017.
Editor: Rony Sitanggang