KBR, Jakarta- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menolak pasal penghinaan pada presiden masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kepala Bidang Advokasi Kontras Putri Kanesia mengatakan, pasal penghinaan kepada presiden tak perlu dibuat spesifik dengan membedakannya dengan masyarakat umum.
Apalagi, kata putri, pasal tersebut diusulkan bukan berupa delik aduan, melainkan delik umum, yang berarti siapa saja bisa melaporkan sang penghina ke polisi.
"Berarti kalau misalnya kita tidak setuju dengan pasal penghinaan presiden, berarti presiden boleh serta-merta dihina? Tentunya tidak. Poinnya adalah siapapun yang mengalami penghinaan, tentu bisa melaporkan ke yang berwajib, termasuk presiden. Tetapi, dia bisa datang atas dirinya sendiri untuk melaporkan terkait kasus penghinaan saja. Jadi tidak perlu ada pasal spesifik ada pasal penghinaan pada presiden" Ujar Putri di kantornya, Kamis (08/02/2018).
Putri mengatakan, saat ini sudah ada pasal penghinaan yang bisa digunakan oleh siapapun yang merasa terhina, melalui delik aduan. Sehingga, kata dia, presiden sebagai warga negara Indonesia juga bisa menggunakan pasal tersebut apabila mengalami penghinaan, tanpa perlu dibuatkan pasal secara khusus.
Selain itu, menurut Putri, pasal penghinaan juga tak perlu dibuat menjadi delik umum. Alasannya, definisi kritik dan penghinaan masih sangat diperdebatkan, sehingga siapa saja bisa dengan mudah melaporkan orang lain karena menganggap menghina presiden.
Menurut Putri, presiden sebagai pejabat publik harus siap dikritik publik, karena sifat kerjanya yang juga mewakili masyarakat. Sehingga, kata dia, pernyataan publik mengenai kinerja presiden juga harus dilihat sebagai kritik, bukan penghinaan.
Editor: Rony Sitanggang