KBR, Jakarta- Badan Intelijen Negara (BIN) mengklaim Komisi Pertahanan DPR menyetujui penambahan kewenangan. Kewenangan lebih BIN terkait memanggil paksa seseorang yang terduga terkait separatisme, radikalisme dan terorisme. Kepala BIN, Sutiyoso mengatakan, hal ini merupakan sesuatu yang lumrah untuk mendeteksi sejak dini rencana aksi teror.
Kata dia, hal ini juga sudah diterapkan di negara-negara maju di Eropa dan Malaysia serta Singapura. Dia menegaskan, tidak pernah meminta kewenangan menangkap seperti yang banyak diberitakan.
"Ya perlunya seperti itu, mereka kan makin pelit berkomunikasi kan, pada saat itulah kita perlu memanggil dia. Jadi memanggil dalam rangka pendalaman penyelidikan bukan penyidikan seperti polisi. Jadi sederhana saja yang kita minta," ujar Kepala BIN, Sutiyoso kepada wartawan di Kantor Presiden, Senin (29/02).
Sutiyoso melanjutkan, "perlu diketahui intelijen di luar negeri itu sekarang paragdigmanya sudah berubah. Saat negaranya terancam dengan teroris mereka mengutamakan keselamatan rakyat dan negaranya. Memberikan kewenangan yang besar kepada aparat kepolisian dan intelijen. Termasuk Malaysia, kita saja yang meninabobokan teroris."
Kepala BIN, Sutiyoso menambahkan, selama ini hanya bisa mendeteksi terkait rencana aksi teror, tanpa bisa mencegah.
Sebelumnya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengkritik wacana revisi undang-undang untuk menambah kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN). Kata dia, tampak aneh jika BIN secara tiba-tiba meminta kewenangannya ditambahkan. Apalagi, hal itu diminta sesaat setelah terjadi aksi teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dia khawatir, kewenangan lebih nantinya bisa disalahgunakan dan sangat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Editor: Rony Sitanggang