Bagikan:

Dampak Aturan Baru Pembelian Elpiji Bersubsidi Terhadap Kelas Menengah Rentan Miskin

"Dia bukan pelaku usaha mikro, dia juga bukan orang miskin. Tapi ketika ada perubahan kebijakan LPG, mungkin mereka tidak termasuk dalam kategori yang berhak, padahal masyarakat rentan miskin."

NASIONAL

Senin, 08 Jan 2024 19:34 WIB

Author

Heru Haetami

Dampak Aturan Baru Pembelian Elpiji Bersubsidi Terhadap Kelas Menengah Rentan Miskin

Pekerja merapikan tabung gas elpiji 3 kg di pangkalan LPG di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (2/1/2024). (Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)

KBR, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan aturan syarat penggunaan kartu tanda penduduk atau KTP untuk pembelian gas elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram. Kebijakan tersebut berlaku sejak 1 Januari 2024.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kebijakan itu menyasar rumah tangga, usaha kecil menengah, hingga petani dan nelayan.

"Bahwa kita punya landasan dari jalur undang-undang dan sampai dengan urusan Dirjen jadi ini cukup dari yang paling mendasar. Kemudian ada peraturan pemerintah dan Peraturan Presiden dan Peraturan Keputusan Menteri yang melandasi pendistribusian ini. Selanjutnya siapa yang berhak mendapatkan pengguna LPG tertentu. Pertama rumah tangga, kemudia kedua usaha mikro, kemudian nelayan sasaran, kemudian petani sasaran," kata Tutuka dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (3/1/2024).

Tutuka Ariadji mengimbau masyarakat yang belum terdata segera mendaftar sebelum membeli elpiji bersubsidi. Untuk mendaftar, masyarakat hanya perlu menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) di sub-penyalur atau pangkalan resmi.

Tapi kebijakan itu mendapat kritik dari pelaku usaha kecil. Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia atau Akumandiri, Hermawati Setyorinny mengatakan sosialisasi aturan itu belum maksimal. Selain itu, data KTP yang harus digunakan juga dinilai masih simpang siur.

"KTP-nya itu menggunakan datanya siapa, pemerintah, atau dari Kelurahan atau sudah dari database Kelurahan tapi tidak masuk di input di pemerintah. Nah ini yang juga menurut saya simpang siur karena UMKM ini kalau saya pernah survei di warung-warung yang warteg, atau yang jual gorengan, itu satu hari bisa 4 tabung. Nah makanya batasannya bagaimana seluruh Indonesia, kalau dasarnya e-ktp satu orang hanya bisa satu susah," ujar Hermawati kepada KBR, Kamis (4/1/2023).

Di lain pihak, Ketua Koordinator "Warteg Nusantara", Mukroni menilai, kebijakan itu terkesan dipaksakan, mendadak, dan menyulitkan masyarakat. 

Mukroni menolak pembelian gas elpiji 3 kilogram dengan KTP. ia khawatir ada kebocoran atau penyalahgunaan data-data pribadi.

Minta ditunda

Reaksi dari kelompok masyarakat itu mendapat perhatian dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 

Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menilai kondisi tersebut bisa mengurangi minat masyarakat untuk mendaftar. Agus mendorong pemerintah menunda kebijakan tersebut.

"Literasi masyarakat yang perlu dibangun oleh pemerintah. Jadi dalam hal ini pemerintah harus dapat meyakinkan kepada masyarakat bahwa LPG 3 kg itu merupakan bentuk LPG yang bersubsidi sehingga hanya kelompok tertentu yang berhak. Kemudian yang kedua pemerintah juga perlu mempunyai mekanisme untuk mengevaluasi apakah masyarakat sudah dapat mengakses atau masyarakat sudah mau mendaftar," jelas Agus kepada KBR, Kamis (4/1/2023)

Sementara itu, lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik CELIOS menilai perubahan cara mengakses elpiji bersubsidi dari sistem terbuka menjadi pembatasan atau semi-tertutup, dapat berdampak terhadap daya beli masyarakat.

Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan setiap ada pembatasan pasti berdampak pada sebagian masyarakat kelas menengah yang rentan.

"Dia bukan pelaku usaha mikro, dia juga bukan orang miskin, tapi ketika ada perubahan kebijakan LPG, mungkin mereka tidak termasuk dalam kategori yang berhak, padahal masyarakat rentan miskin. Maka efeknya adalah daya beli masyarakat bisa tergerus dan ini akan bisa menyumbang tingkat inflasi. Karena harus bergeser ke LPG nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal," kata Bhima kepada KBR, Minggu, (7/1/2024).

Bhima Yudhistira juga mendorong pemerintah memerhatikan soal kemudahan mendaftar bagi masyarakat kelompok rentan. Apalagi, sejauh ini hanya satu persen orang miskin yang memanfaatkan internet. Hal ini, menurut Bhima, menunjukkan masih banyak masyarakat miskin terutama di pedesaan, daerah terluar, juga di daerah-daerah pulau-pulau yang masih sulit mengakses internet untuk mendaftarkan diri di aplikasi yang dimiliki Pertamina.

"Ini tentu akan membatasi akses mereka juga sehingga mereka untuk mendaftar dulu baru bisa membeli LPG 3kg dianggap cukup merepotkan," ujarnya.

Masalah lain yang disorot Bhima Yudhistira adalah terkait pencocokan data. Menurutnya, setiap bentuk subsidi yang efektif harus ada pencocokan antara data penerima subsidi LPG dengan data terpadu Kesejahteraan Sosial. Karena selain pencocokan, data juga sifatnya sangat dinamis.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending